D. Tujuan Hukum

PIH

D. Tujuan Hukum

Dalam merumuskan apa yang menjadi tujuan hukum, para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, yang akan diuraikan beberapa diantaranya di bawah ini :

Menurut teori etis (“etische theorie”), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filusuf Yunani, Aristoteles, dalam karyanya “ Ethica Nicomachea” dan “Rhetorika”, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya (Ultrecht,1957:20).

Untuk ini tentu saja peraturan hukum dibuat untuk setiap orang atau untuk menyelesaikan suatu kasus tertentu. Hal ini jelas tidak mungkin dilakukan, karena peraturan hukum tidak mungkin dibuat untuk mengatur setiap orang atau setiap kasus, tetapi dibuat untuk umum, yang sifatnya abstrak dan hipotesis. Pertimbangan terhadap hal-hal yang konkret diserahkan kepada hakim. Kelemahan lain teori ethis ini adalah bahwa hukum tidaklah selalu mewujudkan keadilan. Peraturan hukum lalu lintas misalnya, yang menentukan orang yang mengenadari kendaraan harus mengambil disebelah kiri jangan disebelah kanan, bukan dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan. Tetapi untuk menjaga kelancaran, keteraturan lalu lintas, sehingga tidak terjadi tabrakan antar pemakai jalan, dan dengan demikian kepentingan orang terlindungi. (Sudikno Mertokusumo, 1996:5).

Secara teoritis dapat dikemukan beberapa asas untuk menentukan apakah sesuatu itu adil atau tidak adil, yaitu :

1. Asas persamaan, dimana diadakan pembagian secara mutlak. Setiap warga masyarakat mendapatkan bagian secara merata tanpa memperhatikan kelebihan./kekurangan individu.

2. Asas kebutuhan, dimana setiap warga masyarakat mendapatkan bagian sesuai dengan keperluannya yang nyata.

3. Asas kualifikasi, dimana keadilan didasarkan kepada kenyataan, bahwa yang bersangkutan akan dapat mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya.

4. Asas prestasi objektif, bahwa bagian seseorang warga masyarakat didasarkan kepada syarat-syarat objektif.

5. Asas subjektif, yang didasarkan kepada syarat-syarat subjektif misalnya : intesi, ketekunan, kerajinan dan lain-lain.

Menurut teori utilities (“utilities theori”), hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya kebahagian sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Teori ini diajarkan oleh Jeremy Bentham (tahun 1748-1832) seorang ahli hukum dari Inggris dalam bukunya “Introduction ot the morals and legislation”. Teori-teori ini pun mengandung kelemahan, karena hanya memperhatikan hal-hal umum, dan terlalu individualis, sehingga tidak memberikan kepuasan bagi perasaan hukum.

Bentham dianggap tokoh radikal yang menghendaki banyak perubahan bagi kehidupan di Inggris. Ia adalah pencetus dan pemimpin aliran pikiran “kemanfaatan”. Menurut Bentham hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Karena maksud manusia melakukan tindakan adalah untuk mendapatkan kebahagian yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Baik buruknya tindakan diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, jika tindakan tindakan itu menghasilkan kebaikan. Sebaliknya dinilai buruk, jika mengakibatkan keburukan ( kerugian).

Oleh Bentham teori ini secara analogis diterapkan pada bidang hukum. Baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan dan sebaliknya dinilai buruk, jika penerapannya menghasilkan akibat yang tidak adil, kerugian dan hanya memperbesar penderitaan. Bagi pengembangan ilmu hukum, teori analogi ini akan sangat bermanfaat bagi kegiatan evaluasi hukum, yaitu untuk mengukur kualitas dari peraturan perundang-undangan (Syahrani,1999: 79). 

Kemudian Van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlands Recht” mengatakan :
Tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan lain sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan- kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian. Dan hukum pertahankan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, di mana setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya. (Apeldoorn,1958, hal. 20)

Apa yang disebut damai atau kedamaian? Kedamaian atau damai adalah suatu keadaan yang meliputi dua hal yaitu ketertiban atau keamanan (orde) dan ketenteraman atau ketenangan (rust). Ketertiban tertuju pada hubungan lahiriah, dengan melihat pada proses interaksi antar-pribadi dalam masyarakat. Sedangkan ketenteraman tertuju pada keadaan batin, yaitu melihat pada kehidupan batiniah masing-masing pribadi dalam masyarakat (Purbacaraka dan Soekanto,1982:30).

Kemudian Utrecht dalam bukunya “Pengantar Dalam Hukum Indonesia” mengatakan, bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum bertugas polisionil (politionele taak van het recht). Hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak tejadi main hakim sendiri (eigenrichting) (Utrecht, 1957:21).

Beberapa ahli hukum bangsa Indinesia sendiri telah mengemukakan perumusan apa yang menjadi tujuan hukum itu. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Perbuatan Melanggar Hukum” berpendapat, bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan bahagia dan tertib dalam masyarakat (Prodjodikoro, 1967: 9).

Selanjutnya dijelaskan, bahwa masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai berbagai kepentingan, yang wujud dan jumlahnya tergantung dari sifat kemanusiaan dalam diri masing-masing anggota masyarakat. Hawa nafsu masing-masing menimbulkan keinginan untuk memperoleh kepuasan dalam hidupnya sehari-hari, yaitu supaya kepentingannya terpelihara sebaik-baiknya. Kalau keinginan ini sudah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan berbagai usaha untuk melaksanakannya, maka di situ mulai ada bentrokan antar berbagai kepentingan para anggota masyarakat, yang kemudian diikuti pula oleh bentrokan antara orang-orangnya para anggota masyarakat itu. Akibat dari bentrokan ini masyarakat goncang. Sedangkan kegoncangan inilah yang sedapat mungkin harus dihindarkan. Dan penghindaran kegoncangan inilah yang sebetulnya masuk tujuan hukum, dengan menciptakan berbagai macam hubungan tertentu dalam masyarakat. Dalam mengatur hubungan-hubungan ini, hukum bertujuan mengadakan keseimbangan diantara berbagai kepentingan. Dan keseimbangan di sini tidak hanya pada lahiriahnya saja, tetapi juga malah sebagian besar terletak pada dunia kerohanian pada masyarakat (magisch evenwicht).

Kemudian Mochtar Kusumaatmadja dalam tulisannya yang berjudul “Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional” mengatakan, bahwa tujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Di samping ketertiban tujuan lain daripada hukum adalah tercapainya keadilan, yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya (Kusumaatmadja, 1970: 6-7).

Selanjutnya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung ini menyatakan, untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diusahakan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat yang penting sekali bukan saja bagi suatu kehidupan masyarakat teratur tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu organisasi hidup yang melampui batas-batas saat sekarang. Karena itulah terdapat lembaga-lembaga hukum seperti perkawinan, hak milik dan kontrak. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya manusia tak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara opimal dalam masyarakat tempat ia hidup.

Secara filosofis tujuan hukum adalah untuk mencapai “kedamaian”. Kedamaian berarti suatu keserasian antara ketertiban dan ketenteraman pribadi. Ketertiban tertuju pada hubungan lahiriah, dengan melihat pada proses interaksi antar pribadi dalam masyarakat. Sedangkan ketenteraman tertuju kepada keadaan bathiniah, yaitu melihat pada kehidupan bathiniah masing-masing pribadi dalam masyarakat.

Suatu lingkungan sosial yang ideal, seyogianya dapat menyerasikan kepentingan-kepentingan umum dan kepentingan-kepentingan pribadi, sehingga tercapai suatu keadaan yang relatif stabil. Keadaan tersebut digambarkan sebagai suatu keadaan damai (“kedamaian”), yang sebenarnya merupakan suatu keserasian antara ketertiban dan ketenteraman.

Ciri-ciri ketertiban antara lain adalah :
1. Adanya kerja sama;
2. Adanya pengendalian terhadap karyawan;
3. Adanya konsistensi;
4. Adanya stabilitas;
5. Adanya keseragaman;
6. Adanya konformitas; dan
7. Tidak ada konflik yang negatif.

Adapun ciri-ciri ketenteraman antara lain adalah :
1. Tidak ada bahaya dari luar;
2. Tidak ada rasa khawatir;
3. Tidak ada konflik pribadi; dan
4. Adanya lembaga-lembaga penyalur rasa tegang.

Pada segi “ketertiban” lebih ditonjolkan “kewajiban” warga masyarakat. Sedangkan pada segi “ketenteraman” yang diutamakan adalah “hak-haknya”. Manusia memerlukan keduanya dalam wujud yang serasi. Terlampau menekankan kepada ketertiban membuka jalan ke arah keadaan “totaliter”, sedangkan lebih mementingkan ketenteraman membuka jalan ke arah “anarkhi”.

Berbicara tentang keadilan sebagai tujuan hukum, Aristoteles membedakan keadilan itu terdiri atas dua macam, yaitu keadilan distirbutif dan keadilan communitatif. Yang dimaksud dengan “keadilan distributif” ialah keadilan yang memberikan sesuatu kepada tiap-tiap orang menurut jasanya. Dalam pengertian ini keadilan bukan berarti persamaan tetapi kesebandingan. Sedangkan “keadilan komunitatief” adalah keadilan yang memberikan sesuatu kepada setiap orang sama banyaknya tanpa melihat jasa seseorang.

Keadilan yang dituju hukum adalah keadilan distributif, yang menghendaki adanya keseimbangan antara kepentingan-kepentingan, sehingga setiap orang mendapat bagian sesuai dengan haknya. Dalam keadilan hukum yang demikian, tersimpul pengertian bahwa dalam hal-hal yang sepenuhnya sama (haknya, situasinya, persoalannya) wajib pula ada ketentuan dan penilaian yang sama, jadi communicatif. Inilah yang menjadi dasar teori etis, yang melulu menuju kepada keadilan saja. Hal ini sudah tentu tidak riil dan berat sebelah, sehingga tidak jarang mengorbankan tujuan kedua yaitu kemanfaatan dalam masyarakat.

Dalam pada itu hukum harus membawa kegunaan, yang menitikberatkan kepentingan umum. Ini menimbulkan teori utilities, yang menyebutkan tujuan hukum untuk memberi kepada manusia kebahagiaan yang sebesar-besarnya. Teori ini juga sangat berat sebelah dan tidak jarang kurang memperhatikan keadilan. Padahal kebahagiaan tidak mungkin tanpa keadilan.

Oleh karena itu maka penetapan peraturan hukum tidak dapat hanya berdasarkan pada salah satu teori saja, tetapi harus memakai kedua teori, sehingga dapat menjamin tata tertib maasyarakat secara damai dan adil.

red _ (4)

kembali ke :
• https://bit.ly/3rQt9Vr