C. Sumber-Sumber Hukum Formil

PIH

C. Sumber-Sumber Hukum Formil

1. Undang-Undang

Perkataan “undang-undang” sering dipergunakan dalam 2 (dua) pengertain, yaitu undang-undang dalam arti formil dan undang-undang dalam arti materiil. (Ultrecht, 1957:119) Undang-undang dalam arti formil adalah suatu bentuk peraturan atau ketetapan yang dibuat oleh badan pembuat undang-undang (badan legislatif pusat). Menurut UUD 1945 yang menjadi badan pembuat undang-undang adalah Presiden, maupun oleh DPR. Tetapi dalam praktek yang mengajukan rancangan undang-undang selalu Pemerintah, bukan DPR. Hal ini disebabkan oleh karena Pemerintah mempunyai alat perlengkapan yang jauh lebih banyak dari pada DPR, sehingga lebih mengetahui dan menguasai persoalan-persoalan apa dalam masyarakat yang membutuhkan pengaturan dengan undang-undang, dan bagaimana sebaiknya undang-undang yang ingin dibuat untuk mengatur persoalan itu.

Berdasarkan pengertian di atas, maka hanya keputusan yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR saja yang menjadi undang-undang dalam arti kata formil. Kendatipun demikian tidak berarti setiap produk yang merupakan hasil kerja Presiden dengan persetujuan DPR terwujud dalam bentuk undang-undang. Dalam Pasal 11 UUD 1945 dinyatakan, bahwa Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Untuk hal-hal yang terakhir ini jelas bukan merupakan undang-undang.

Sedangkan yang dimaksud dengan undang-undang dalam arti materiil adalah semua peraturan yang isinya mengikat kepada masyarakat (suatu daerah) dengan pengertian ini maka walaupun suatu peraturan bentuknya bukan undang-undang, yakni bukan suatu keputusan yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, tetapi karena isinya mengikat masyarakat di suatu daerah tertentu, dinamakan undang-undang dalam arti materiil ini. Undang-undang dalam arti materiil juga disebut “peraturan” (dalam bahasa Belanda disebut “regeling”), (Prof.Mr. T.J Buys : 120).

Dengan demikian maka undang-undang dalam arti formil tidak dengan sendirinya sebagai undang-undang dalam arti materiil. Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) misalnya, adalah undang-undang dalam arti formil karena dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR, tetapi bukanlah undang-undang dalam arti materiil, sebab Undang-Undang tentang APBN isinya tidak mengikat kepada masyarakat. Sebaliknya, sesuatu peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I atau Tingkat II, yang isinya mengikat masyarakat di daerah yang bersangkutan, adalah merupakan undang-undang dalam arti materiil, meskipun bukan sebagai undang-undang dalam arti formil.

Meskipun demikian banyak juga undang-undang dalam arti formil dan sekaligus sebagai undang-undang dalam arti materiil, seperti undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan sebagainya.

Setiap undang-undang harus diundangkan (oleh Menteri Sekretaris Negara) dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Zaman Hindia Belanda dahulu disebut Staatsblad. Kapan suatu undang-undang mulai berlaku dan mengikat, disebutkan dalam undang-undang itu sendiri, lazimnya pada tanggal diundangkan. Namun undang-undang tidak boleh berlaku surut.

Berikut ini diuraikan secara singkat macam-macam peraturan perundang-undangan di atas ini :

a. Undang-Undang Dasar 1945.

Yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang tertulis. UUD 1945 adalah hukum dasar yang tertulis, yaitu keseluruhan naskah yang terdiri dari : 
  • (I) Pembukaan;
  • (II) Batang Tubuh, yang berisi Pasal 1 sampai dengan 37 yang dikelompokkan dalam 16 Bab, 4 Pasal Aturan Peralihan dan 2 Ayat aturan tambahan; serta
  • (III) Penjelasan. Naskahnya yang resmi telah dimuat dan disiarkan dalam Berita Republik Indonesia yang terbit tanggal 15 Februari 1946.
UUD 1945 disahkan sebagai undang-undang dasar di negara Republik Indonesia oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berlaku pertama kali pada tanggal 18 Agustus 1945.

Sebagai hukum maka UUD 1945 adalah mengikat, yaitu mengikat Pemerintah, mengikat setiap lembaga negara dan setiap lembaga masyarakat dan juga mengikat setiap warga negara Indonesia di mana saja dan setiap penduduk yang berada di wilayah negara Republik Indonesia.

UUD 1945 bukanlah hukum biasa, melainkan hukum dasar. Sebagai hukum dasar maka UUD 1945 merupakan sumber hukum. Setiap produk hukum seperti undang-undang, peraturan atau keputusan Pemerintah, bahkan setiap tindakan kebijaksanaan Pemerintah, haruslah berlandaskan dan bersumber pada peraturan yang lebih tinggi, yang pada akhirnya dapat dipertanggungjawabkan pada ketentuan UUD 1945. Dalam kedudukan yang demikian itu, Undang-Undang Dasar dalam kerangka tata-urutan atau tata tingkatan norma hukum yang berlaku merupakan hukum yang menempati kedudukan tertinggi.

Dalam hubungan ini, Undang-Undang Dasar juga mempunyai fungsi sebagai alat kontrol, alat pengecek apakah norma hukum yang lebih rendah yang berlaku itu sesuai atau tidak dengan ketentuan UUD 1945. Apabila Undang-Undang Dasar itu merupakan sumber hukum tertinggi dari hukum yang berlaku di Indonesia, maka pembukaan UUD 1945 merupakan sumber dari motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad bangsa Indonesia, yang merupakan sumber dari cita hukum dan cita moral yang ingin ditegakkan baik dalam lingkungan nasional maupun dalam hubungan pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Pembukaan yang telah dirumuskan secara padat dan khidmat dalam empat alinea itu, setiap alinea dan kata-katanya mengandung arti dan makna yang sangat dalam, mempunyai nilai-nilai yang univesal dan lestari.

Universal, karena mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa beradab di seluruh muka bumi; lestari karena ia mampu menampung dinamika masyarakat, dan akan tetap menjadi landasan perjuangan bangsa dan negara selama bangsa Indonesia tetap setia kepada Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Selain itu, sesuai dengan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan UUD 1945 mempunyai fungsi atau hubungan langsung dengan batang tubuh UUD 1945 itu sendiri, ialah bahwa Pembukaan UUD 1945 itu mengandung pokok-pokok pikiran yang diciptakan dan dijelmakan dalam Batang Tubuh UUD 1945, yaitu dalam pasal-pasalnya. Dan pokok-pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945 itu tidak lain adalah pancaran dari fasafah negara Pancasila.

Karena pokok-pokok pikiran itu – menurut Penjelasan UUD 1945- ”meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia serta mewujudkan cita-cita hukum yang tidak tertulis”, sedangkan pokok-pokok pikiran itu dijelmakan dalam pasal-pasalnya oleh UUD 1945 , maka dapatlah disimpulkan bahwa suasana kebatinan UUD 1945 serta cita-cita hukum UUD 1945 tidak lain adalah bersumber atau dijiwai oleh dasar falsafah Pancasila. Disinilah arti dan fungsi Pancasila sebagai dasar negara.UUD 1945 yang terdiri dari 37 pasal ditambah empat pasal Aturan Peralihan dan dua ayat Aturan Tambahan, yang mengandung semangat dan merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, juga merupakan rangkaian kesatuan pasal-pasal yang bulat dan terpadu. Didalamnya berisi materi yang pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua bagian :
  1. Pasal-pasal yang berisi pengaturan sistem pemerintahan negara, didalamnya termasuk pengaturan tentang kedudukan, tugas, wewenang dan saling berhubungannya dari kelembagaan negara;
  2. Pasal-pasal yang berisi meteri hubungan negara dengan warga negara dan penduduknya serta – dengan dipertegas oleh Pembukaan UUD 1945 - berisi konsepsi negara di berbagai bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam, dan lain-lain ke rah mana negara, bangsa dan rakyat Indonesia akan bergerak mencapai cita-cita nasionalnya.
Pembukaan Undang-Undang Dasar yang memuat dasar falsafah negara Pancasila dan UUD 1945 merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan, bahkan merupakan rangkaian kesatuan nilai dan norma yang terpadu. UUD 1945 terdiri dari rangkaian pasal-pasal yang merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang tiada lain adalah pokok-pokok pikiran : Persatuan Indonesia, Keadilan Sosial, Kedaulatan Rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang tidak lain adalah sila-sila dari Pancasila, sedangkan Pancasila itu sendiri memancarkan nilai-nilai luhur yang telah mampu memberikan semangat kepada dan terpancang dengan khidmat dalam perangkat UUD 1945.

Semangat (Pembukaan) dan yang disemangati (pasal-pasal UUD 1945 serta Penjelasannya) pada hakikatnya merupakan satu rangkaian kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal UUD 1945 adalah ketentuan-ketentuan yang tertinggi tingkatannya dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia, yang pelaksanaaannya dilakukan dengan Ketetapan MPR, undang-undang atau Keputusan Presiden. Oleh karena itu, apabila peraturan perundang-undangan di bawahnya bertentangan daengan ketentuan- ketentuan yang terkandung dalam pasal-pasal UUD 1945 maka peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

b. Ketetapan MPR.

Ketetapan MPR adalah bentuk produk legislatif yang merupakan keputusan musyawarah MPR, yang ditujukan keluar (dari majelis) yaitu mengatur tentang garis-garis besar dalam bidang legislatif dan eksekutif. Ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan undang-undang. Sedangkan ketetapan MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.

c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

Undang-undang adalah merupakan produk daripada Presiden dengan persetujuan DPR. Undang-undang berfungsi untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 maupun Ketetapan MPR. Selain itu jugan mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UUD 1945 maupun Ketetapan MPR. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ditetapkan oleh Presiden, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Peperpu) ini mempunyai kedudukan (derajat) yang sama dengan undang-undang walaupun tanpa persetujuan DPR sebelumnya (Pasal 22 UUD 1945). Meskipun demikan, Peperpu itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangn yang berikut . Jika mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut harus dicabut.

d. Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan undang-undang. Karena peraturan pemerintah diadakan untuk melaksanakan undang-undang, maka Presiden tidak mungkin menetapkan peraturan pemerintah tanpa ada undang-undang yang dilaksanakan. Meskipun demikian Peraturan Pemerintah dapat dibentuk meski undang-undang yang bersangkutan tidak tegas-tegas menentukannya.

Muatan Peraturan Pemerintah tidak boleh lebih luas dari pada undang-undang atau menambah materi undang-undang. Kalau dalam Peraturan Pemerintah dimuat ketentuan ancaman hukuman (sanksi pidana), maka batas-batas hukuman yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah harus diatur dengan undang-undang.

Undang-undang yang dimaksudkan disini adalah undang-undang yang menjadi induknya. Justru itu dalam suatu undang-undang, materi muatan yang dapat dimasukkan tidak perlu banyak jumlahnya, dan tidak perlu terinci isinya (cukup pokok-pokoknya saja). Sedangkan materi muatan perkisaran, fleksibilitas, dan variasinya dapat dilimpahkan kepada Peraturan Pemerintah, kalau perlu kepada Keppres.

e. Keputusan Presiden

Keputusan Presiden adalah keputusan yang bersifat khusus yang ditetapkan oleh Presiden, untuk melaksanakan ketentuan UUD 1945, Ketetapan MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan Pemerintah. Berbeda dengan undang-undang, Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Peperpu) dan peraturan pemerintah sebagai bentuk peraturan perundang- undangan yang disebutkan dalam UUD 1945, maka Keputusan Presiden merupakan bentuk perundang-undangan yang baru yang ditetapkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.

f. Peraturan Pelaksana Lainnya.

Peraturan pelaksanaan lainnya adalah bentuk-bentuk peraturan seperti peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lain, yang harus bersumber kepada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tata urutan peraturan perundang-undangan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 yang kemudian dinyatakan tetap berlaku oleh Ketetapan MPRS No.V/MPRS/1973, merupakan sumber hukum formil di Indonesia menurut tingkatan kewenangannya (hierarkinya), setiap peraturan yang berlaku harus bersumber pada peraturan yang lebih tinggi tingkatannya, dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.

2. Kebiasaan

Kebiasaan adalah perbuatan yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam masyarakat mengenai suatu hal tertentu. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu dilakukan berulang-ulang karena dirasakan sebagai sesuatu yang memang seharusnya, dan penyimpangan dari kebiasaan tersebut dianggap sebagai pelanggaran perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat, maka timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dalam masyarakat dipandang sebagai hukum. Kebiasaan yang demikian dapat terjadi dalam lingkungan masyarakat yang sempit, masyarakat yang agak luas maupun masyarakat yang sangat luas.

Namun demikian, tidak semua perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan sendirinya menjadi kebiasaan. Untuk menjadikan sesuatu perbuatan itu kebiasaan adalah berasal dari keyakinan atau kesadaran masyarakat, bahwa perbuatan tersebut sebagai suatu kepatutan, sesuatu yang memang seharusnya. Kemudian tidak setiap kebiasaan niscaya mengandung hukum yang adil dan benar dalam tata kehidupan masyarakat yang beradab. Oleh sebab itu kebiasaan belum tentu menjadi sumber hukum formil. Kebiasaan yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah bangsa dan negara Pancasila, jelas tidak dapat diterima sebagai sumber hukum formil oleh masyarakat Indonesia.

Hukum kebiasaan dan Undang-undang merupakan penegasan dari pandangan-pandangan hukum yang terdapat dalam masyarakat atau disebut juga perumusan kesadaran hukum masyarakat. Perbedaan adalah bahwa undang-undang merupakan penegasan yang dilakukan pembuat undang-undang, sedang hukum kebiasaan merupakan penegasan oleh masyarakat atau golongan masyarakat tertentu. Hal ini merupakan perbedaan yang amat penting.

Pembentuk undang-undang biasanya tidak sengaja menentang kesadaran hukum masyarakat, atau sedikit banyak dapat menyimpang, sehingga undang-undang yang dibuatnya merupakan pembelokan-pembelokan penegasan kesadaran hukum masyarakat. Sebaliknya hukum kebiasaan yang ditimbulkan oleh masyarakat sendiri akan merupakan bayangan yang tepat dari apa yang hidup dalam sanubari masyarakat. Akan tetapi pertentangan antara undang-undang dan hukum kebiasaan tidak sedemikian tajamnya dalam suatu negara, yang mana wakil-wakil rakyat ikut serta dalam pembentukan undang-undang.

Hukum kebiasaan yang umum yang berlaku bagi seluruh masyarakat, masih tetap timbul tetapi tidak langsung dari masyarakat sendiri melainkan melalui perantara pengadilan, yakni yurisprudensi. Peradilan dalam hal ini hanya dapat menguatkan peraturan- peraturan yang telah diikuti dalam pergaulan masyarakat, jadi yang telah menjadi “kebiasaan” maupun yang merupakan penegasan pandangan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang masih samar-samar, belum menjelma dalam kebiasaan. Dengan demikian merumuskannya sebagai peraturan hukum.

Di samping hukum kebiasaan juga ada hukum adat. Utrecht tidak melihat perbedaan struktural antara kebiasaan dengan adat. Perbedaan hanya terletak pada asalnya. Adat adalah sebagian kaidah-kaidah yang ada pada masyarakat tertentu yang berasal dari sesuatu yang sakral, yang berhubungan dengan tradisi masyarakat Indonesia yang telah turun temurun. Sedangkan kebiasaan tidak merupakan “tradisi”, belum menjadi kebudayaan asli. Kebiasaan adalah hasil akulturasi timur dan barat yang belum diresepsi sebagai tradisi (Utrecht,1957:44).

3. Traktat

Traktat adalah perjanjian yang dilakukan dua negara atau lebih. Bila traktat dilakukan dua negara saja maka disebut bilateral, dan bila dilakukan lebih dari dua negara maka dinamakan perjanjian multilateral. Kemudian jika multilateral memberi kesempatan pada negara-negara lain yang tadinya tidak ikut megadakannya, untuk menjadi pihak, maka disebut perjanjian kolektif atau terbuka. Perjanjian bilateral yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia misalnya perjanjian dengan RRC tentang “dwikewarganegaraan”. Perjanjian multilateral misalnya perjanjian internasional tentang pertahanan bersama negara-negara Eropa (NATO) yang diikuti oleh negara-negara Eropa. Kemudian perjanjian kolektif misalnya piagam PBB.

Perjanjian antara negara dibedakan antara treaties yaitu perjanjian terpenting dengan “agreement” yaitu perjanjian lain yang kurang penting. Treaty adalah perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan sebelum disahkan (diratifikasi) oleh Presiden, ialah perjanjian-perjanjian yang lazimnya berbentuk treaty yang mengandung materi sebagai berikut :
  • a. Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri, seperti perjanjian persahabatan, perjanjian persekutuan, perjanjian tentang perubahan wilayah.
  • b. Ikatan-ikatan sedemikian rupa yang mempengaruhi haluan politik luar negeri (perjanjian kerja sama ekonomi dan teknik atau pinjaman uang).
  • c. Soal-soal yang menurut UUD 1945 atau sistem perundang-undangan di Indonesia harus diatur dengan undang-undang, seperti kewarganegaraan, kehakiman, dan lain-lain.
Agreement adalah perjanjian yang mengandung materi yang lain, yang hanya disampaikan kepada DPR untuk diketahui setelah disahkan oleh Presiden. Agreement ini diberi bentuk Keputusan Presiden. Dalam surat Menteri Sekretaris Negara tanggal 23 Agustus 1975 No.202/M/Sekneg/8/75 kepada ketua DPR perihal ratifikasi konvensi dan perjanjian dinyatakan, bahwa Surat Presiden No.2826/HK/60 itulah yang merupakan dasar hukum sebagai pelaksanaan Pasal 11 UUD 1945.

Bantuk peraturan dalam menjalankan kewenangan Presiden sebagaimana disebut Pasal 11 UUD 1945 ada tiga, yaitu undang-undang (misalnya Undang-undang No. 10 Tahun 1976 tentang perjanjian ekstradiksi Indonesia-Filipina), Keputusan Presiden dan Keterangan Pemerintah (misalnya Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Gabungan Komisi, I, VII dan X DPR tanggal 10 Februari 1975 tentang Persetujuan Kerja Sama Ekonomi antara Pemerintah Indonesia dengan Laos. Hal lain yang sering dipersoalkan oleh para ahli hukum mengenai traktat ini adalah, dapatkah traktat secara langsung mengikat semua penduduk di wilayah suatu negara ? Di sini ada dua pendapat yang berbeda.

Pendapat pertama menyatakan bahwa traktat tidak dapat mengikat secara langsung penduduk di wilayah negara yang menjadi pihak. Karena traktat semata-mata suatu perjanjian antara negara-negara yang mengadakannya, jadi hanya negara dan tidak manusia yang merupakan pihak. Keadaan hukum (kedudukan hukum) para penduduk tidak dipengaruhi oleh traktat itu. Agar traktat mengikat penduduk negara yang mengadakannya, maka traktat itu harus lebih dahulu dijadikan hukum nasional berdasarkan suatu undang-undang negara nasional. Pendapat ini dikemukakan oleh Leband dan diikuti oleh ahli hukum Belanda bernama Telders yang terkenal dengan teori inkorporasi. Menurut teori Telders ini, traktat harus lebih dahulu diinkorporasikan ke dalam suasana hukum nasional yang terjadi pada pengundangan traktat dalam lembaran negara, (Utrecht, 483).

Pendapat kedua menyatakan, bahwa traktat mengikat langsung penduduk di wilayah negara yang menjadi pihaknya. Pendapat ini dianut oleh Hamaker, van Eijsinga, van Vollenhoven, Verzijl dan juga diterima oleh Hoge Read di Negeri Belanda pada tahun 1906. Teori kedua ini mengakui “primat hukum antar-negara”, yaitu mengakui hukum antar negara lebih tinggi derajatnya dari pada hukum nasional. Pemerintah Indonesia juga mengakui primat hukum antar-negara.

Sebagai konsekuensi dari pada penerimaan teori “primat hukum antar negara”, maka traktat baru dapat mengenyampingkan undang-undang nasional lama, yaitu berdasarkan asas “lex posterior derogat priori (legi)”. Dan bagi mereka yang primat hukum antarnegara sepenuhnya, seperti verzijl, menganggap suatu undang-undang nasional.

4. Yurisprudensi

Undang-undang dalam bidang apapun tidak mungkin memenuhi kebutuhan hukum masyarakat, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, dimana semua bidang kehidupan masyarakat mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat cepat sehingga betapapun cepatnya badan legislatif bekerja persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat yang membutuhkan peraturan hukum ternyata lebih cepat. Lagipula pembuat undang-undang tidak mungkin menggambarkan sebelumnya semua persoalan yang bakal terjadi di kemudian hari. Oleh sebab itu sering terjadi banyak persoalan dalam masyarakat masih belum ada peraturan hukumnya.

Apabila hakim menghadapi suatu perkara di mana ternyata peraturan hukum itu in abstrakto-nya belum ada, atau peraturan in abstaktonya yang ada harus ditafsirkan terlebih dahulu, maka hakim tidak berarti boleh menolak atau mengadili perkara itu, melainkan harus tetap memeriksa dan mengadilinya dengan menentukan sendiri hukumnya yaitu dengan melakukan “Kreasi hukum”.

Dalam undang-undang pokok kekuasaan kehakiman dinyatakan pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 14). Dan hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27). Jadi dalam keadaan bagaimanapun hakim wajib memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Di sinilah timbul apa yang dinamakan yurisprudensi, yaitu putusan hakim atau pengadilan yang memuat peraturan sendiri, kemudian diikuti dan dijadikan dasar putusan hakim yang lain dalam perkara yang sama ( Kansil,1976:50).

Meskipun demikian tidak semua ahli hukum setuju bahwa yurisprudensi dijadikan sebagai sumber hukum. Van Apeldoorn misalnya, menolak yurisprudensi sebagai sumber hukum. Menurutnya suatu ketentuan dalam putusan hakim terus menerus diikuti sehingga menjadi keyakinan hukum umum yakni apabila sesuatu hukum tertentu telah tercipta yurisprudensi tetap, maka ketentuan itu telah menjadi hukum. Tetapi tidak karena putusan hakim, melainkan karena “kebiasaan”, yaitu karena hal tersebut berdasarkan keyakinan hukum dari haki (Utrecht,1957:160).

5. Doktrin

Doktrin adalah ahli-ahli hukum yang ternama, yang mempunyai pengaruh dalam pengambilan keputusan. Dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan, sering kali hakim menjadikan pendapat ahli-ahli terkenal tersebut sebagai alasan putusannnya, yaitu dengan mengutip pendapat ahli-ahli hukum tersebut. Dengan demikian putusan pengadilan terasa lebih berwibawa.

Doktrin sebagai sumber hukum mempunyai pengaruh yang besar dalam hubungan internasional. Bahkan dalam hukum internasional doktrin merupakan sumber hukum yang amat penting.

Mahkamah internasional dalam Mahkamah Agung Internasional (Statute International Court of Justice) pasal 38 (1) mengakui pendapat-pendapat ahli hukum sebagai pedoman dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu perselisihan, di samping berpedoman terhadap perjanjian internasional (International Conventions), kebiasaan-kebiasaan internasional (Intentional Costoms), asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (The General Principles of Law Recognized By Civilsed nation), dan putusan hakim (judical decision) (Kansil,1976:51).

red _ (33614)

kembali ke :
• https://bit.ly/45DhYgy