B. Tujuan Mempelajari Ilmu Hukum
Mempelajari ilmu hukum umumnya dilaksanakan di perguruan tinggi yang dimaksudkan sebagai upaya untuk membentuk kepribadian manusia yang mengacu pada nilai-nilai tertentu. Kepribadian diartikan sebagai pola pikir, bersikap, merasa, dan bertindak secara terpadu dalam diri individu. Sedangkan, pendidikan dilihat dari proses belajar-mengajar, adalah transformasi pengetahuan dari pendidik kepada anak didiknya melalui proses yang sadar, terarah, dan sistematis. Dalam perkataan lain, pendidikan adalah sarana utama dalam mentransformasikan nilai-nilai positif dari satu generasi kepada generasi berikutnya yang kelak berguna dalam kehidupannya.
Pendidikan bukan sekedar menggumuli fenomena yang tampak dari luar saja, tetapi juga langsung mengenali dan memahami konsepsi dasarnya, kemudian menganalisisnya secara nalar. Demikian halnya dalam pendidikan tinggi hukum, bahwa keberadanya juga mentransfer teori atau ilmu hukum sebagai proses sosialisasi untuk mengenal dan memantapkan nilai-nilai baru di bidang hukum dalam rangka memajukan masyarakat. Hal tersebut disebabkan kampus secara umum dikonotasikan sebagai masyarakat ilmiah yang mencerminkan nilai-nilai baru untuk dikembangkan baik dalam kampus maupun di luar kampus.
Dengan demikian, pendidikan tinggi hukum harus senantiasa diarahkan pada peningkatan kecerdasan dan sumber daya manusia yang tidak hanya berguna bagi kepentingan rakyat secara individu, tetapi agar mampu mengimplementasikan ilmunya bagi kepentingan masyarakat. Keberadaan pendidikan tinggi hukum memang memiliki peran yang lebih di bandingkan dengan sub-sistem lainya yang ada dalam masyarakat. Hal itu disebabkan pendidikan tinggi hukum memiliki peran sebagai wahana aktifitas penemuan dan pencarian pemikiran kritis untuk mengembangkan ilmu hukum. Filosofi perguruan tinggi berpijak pada landasan “kebebasan akademik” yaitu refleksi sebagai “laboratorium sosial” sekaligus sebagai “laboratorium kebudayaan” bagi rakyat.
Salah satu tujuan mempelajari ilmu hukum adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang segala hal dan semua konstelasi (seluk beluk) dan keberadaan hukum dan segala yang melingkupinya yang begitu luas. Sifat hukum juga mempunyai hakikat yang “interdisipliner” karena digunakannya pelbagai disiplin ilmu pengetahuan lain untuk membantu menjelaskan kehadiran hukum di dalam masyarakat. Misalnya, ilmu pengetahuan politik, antropologi, ekonomi, sosiologi, dan budaya.
Menurut john Austin tugas dan tujuan mempelajari ilmu hukum (Satjipto Rahardjo, 1986:3) adalah untuk menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem modern. Sekalipun diakui, bahwa ada unsur-unsur yang bersifat historis di dalamnya, namun secara sadar unsur-unsur tersebut seringkali luput dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Mengetahui dan memahami tujuan mempelajari ilmu hukum, paling tidak menanamkan fondasi bagi seseorang yang nantinya berguna dalam merambah dunia hukum yang begitui luas dan beragam. Untuk menjamin kualitas luaran pendidikan tinggi hukum yang selain diharapkan menjadi intelektual hukum, tetapi juga mampu mengabdikan ilmunya untuk kebaikan masyarakat menurut Soerjono Soekanto (1982:192), haruslah memiliki tiga aspek sebagai berikut :
1. Pengetahuan di bidang hukum maupun pengetahuan pada bidang sosial lainya.
2. Mempunyai ketrampilan teoretis, mencakup kemampuan untuk menulis, berdiskusi dan meneliti. Berkemampuan praktis, mencakup kemampuan untuk membentuk hukum kemudian menerapkanya.
3. Berkepribadian, yaitu memiliki keberanian menyatakan kebenaran dan bersifat jujur.
Standard minimal di atas, menunjukkan bahwa setiap alumni PT hukum hendaknya terampil dalam membentuk hukum sekaligus mampu menerapkannya dengan memperhatikan nilai-nilai hidup yang dianut oleh masyarakat. Keterampilan tersebut selain berfungsi sebagai sarana untuk mempertahankan kedamaian, juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengubah perilaku negatif masyarakat yang searah dengan kebijaksanaan pembangunan.
Eksistensi pendidikan tinggi hukum dalam mencetak sarjana hukum yang handal, hendaknya mampu meleburkan diri kedalam proses perubahan yang terencana. Masalahnya, masih ada indikasi sebagian mahasiswa hukum yang cenderung berorentasi pada kepentingan pribadi dari pada penalaran kritis dan ilmiah, serta lemahnya daya kreasi dan membaca buku-buku ilmiah. Padahal pendidikan tinggi hukum adalah wahana yang mempersiapkan generasi baru yang berpengetahuan hukum dan berwawasan luas, yang nantinya berguna bagi kemajuan kehidupan sosial masyarakat dan pembangunan bangsa secara menyeluruh.
Masyarakat Indonesia yang majemuk dan multi-etnis yang sedang giat membangun, membutuhkan sarjana-sarjana hukum yang menguasai teori dan praktik serta mampu menganalisis permasalahan masyarakat, selanjutnya mencari pemecahanya. Kualitas yang dimiliki sarjana hukum, di satu sisi berfungsi sebagai sarana melapangkan bekerjanya hukum, tetapi pada sisi lain berperan sebagai sarana untuk mengubah pola perilaku masyarakat kearah yang lebih baik secara terencana.
Sarjana hukum yang berkualitas, adalah yang dapat mengantisipasi proses perubahan sosial secara terencana, serta mampu menerjemahkan tujuan-tujuan pembangunan kepada masyarakat. Yang menjadi masalah adalah adanya oknum sarjana hukum yang cenderung lebih berorientasi pada kepentingan pribadi dari pada kepentingan keadilan, kepentingan masyarakat dan pembangunan bangsa. Profesionalisme yang dimiliki seorang sarjana hukum, mempengaruhi orientasi dan format sistem kenegaraan, hukum dan kehidupan sosial masyarakat.
Mahasiswa hukum setelah sarjana, jangan hanya hitam-putih yang mengisi kepalanya, tetapi juga harus berisi dengan warna “hijau atau abu-abu “. Hal ini mengandung makna yang cukup subtansial, karena kalau hanya “hitam-putih atau salah-benar” yang mengisi kepala seorang sarjana hukum dalam memandang suatu permasalahan hukum dalam masyarakat, akan sulit menemukan pemecahan atau jalan keluar yang terbaik. Harus ada warna “hijau atau abu-abu” dalam arti, seorang sarjana hukum yang baik tidak hanya mampu melihat persoalan masyarakat dari kaca mata normatife, tetapi juga melihatnya secara sosiologis yang memandang faktor non-hukum cukup berperan, seperti faktor politik, faktor ekonomi, faktor sosial, dan budaya yang banyak mempengaruhi bekerjanya hukum dalam masyarakat.
Akan tetapi, metode pembelajaran ilmu hukum yang selama ini dipelajari di kampus-kampus lebih cenderung berpandangan luas atau mendunia (world view) karena para perumus kurikulum senantiasa mengaitkannya dengan pandangan yang banyak dianut para ilmuan hukum dunia. Sebagian besar ahli hukum itu mengeluarkan teorinya yang cenderung melegitimasi suatu konstruksi hubungan yang memposisikan negara pada posisi yang lebih kuat ketimbang posisi masyarakat sipil. Akibatnya, para penguasa negara menilai bahwa para penteori hukum dunia yang kemudian dianut di kampus-kampus atau fakultas-fakultas hukum di Indonesia, dapat dikuasai dalam rangka menjaga keberlangsungan proses bernegara.
Lebih parah lagi, karena teori-teori yang diserap begitu saja tidak dielaborasi secara cerdas pada hakikat masalahnya, sehingga semakin memperkuat posisi negara yang berimplikasi pada lemahnya penegakan hukum. Pemahaman ilmu hukum yang lebih banyak berpihak kepada kepentingan negara, menyebabkan penguasa negara menjadikanya sebagai legitimasi bagi terbentuknya suatu sistem hukum yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Mencermati teori power and knowledge dan aliran studi hukum kritis, maka fenomena yang berkembang itu tidak mungkin tercipta karena tidak disengaja, tetapi lahir dari suatu interaksi yang cukup intens antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang ternyata diproduk di kampus-kampus.
Hampir setiap hari peraturan perundang-undangan (sistem hukum) di Indonesia diremehkan oleh warga masyarakat. Pandangan yang mencibir itu tidak begitu saja lahir secara serta merta, tetapi lahir dari proses panjang yang mendahuluinya seperti ketidakmampuan ilmu hukum mengenai hakikat hukum yang bisa merasuk ke dalam diri orang yang mendalaminya. Kenyataan menunjukkan, bahwa sistem hukum yang dioperasionalkan di Indonesia lebih banyak berpihak kepada negara daripada kepada rakyat saat terjadi sengketa antara keduanya.
Kerancuan yang terjadi daam sistem hukum di Indonesia selama ini, bermula pada kerancuan landasan “epistemologi”, sehingga perlu dilakukan “penjernihan” ilmu hukum yang menjadi dasar normatife atas pembentukan sistem hukum yang komprehensif. Teori power and knowledge yang dikembangkan Foucault sebagai aliran studi hukum kritis (critical legal studies movement) yang saat ini sedang naik daun, bahwa ilmu hukum sepenuhnya disandarkan pada prejudice yaitu adanya relasi yang saling mendukung antara kekuasaan dengan ilmu pengetahuan (ilmu hukum).
Aliran studi hukum kritis begitu berguna dalam menata ilmu hukum karena sikap kritisnya terhadap logika “positivisme hukum” yang hanya memandang dari aspek prosedur-formal belaka dan begitu kuat mempengaruhi pembentukan sistem hukum dan pelaksanaanya. Aliran ini menentang keras pandangan positivistik yang menilai hukum hanyalah yang dibuat oleh penguasa negara yang bersifat otonom, netral dan terlepas dari aspek nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Sudah waktunya pembelajaran ilmu hukum “dijernihkan” dari adanya konspirasi antara disiplin ilmu hukum dan kekuasaan. Para pembina dan pengajar ilmu hukum harus senantiasa mengarahkan mahasiswa dalam mengajarkan ilmu hukum yang berpihak secara ideologis kepada rasa keadilan masyarakat. Apabila tidak, maka martabat ilmu hukum akan terus disorot karena secara langsung atau tidak langsung turut memberi kontribusi dalam melemahkan sistem hukum dan pelaksanaanya (Marwan Mas, 2004:21).
red _ (02)
kembali ke :
• https://bit.ly/3M4fl0x