B. Konsep Negara Hukum Indonesia
Negara hukum adalah suatu konsep teoretik yang tumbuh dan berkembang di daratan Eropa Barat (kontinental). Didalam suasana kehidupan bernegara berdasarkan pemusatan kekuasaan yang tidak populer lagi di Eropa Barat, maka Montesquieu mengintroduksikan ide Trias Politica di bidang ketatanegaraan, sedangkan Immanuel Kant mulai menggali lagi ide Negara Hukum yang sudah dikenal sejak zaman Plato di Yunani (purba) dengan istilah Nomoi (Padmo Wahjono, 1992: 40)
Padmo Wahjono mengemukakan, bahwa pemanfaatan ide negara hukum oleh Kant hanyalah dalam konteks negara sekedar untuk menegakkan keamanan dan ketertiban di masyarakat (rust en orde), sehingga karenanya tidak mengherankan bahwa ide Kant itu kemudian dikenal juga dengan nama Negara Jaga Malam (nachtwakerstaat), atau negara hukum dalam arti formal. E. Utrecht menyebut negara hukum dalam arti formal (nachtwakerstaat) itu dengan istilah “negara hukum klasik”, yang berhadapan dengan negara hukum dalam arti material, atau dalam istilah Utrecht disebut “negara hukum modern”. ( Utrecht, 1960: 19)
Negara hukum dalam arti formal (klasik) ialah negara yang kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan ketertiban umum seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang tertulis (undang-undang). Negara hanya bertugas melindungi jiwa, benda, atau hak-hak asasi warga secara pasif, tidak turut campur tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan kesejahteraan rakyat. Bahkan menurut Utrecht, negara hanya mempunyai tugas primer untuk melindungi dan menjamin kedudukan ekonomi dari golongan penguasa (rulling class).
Memasuki abad ke-20, konsep negara hukum dalam arti formil ini ditinggalkan dan diganti dengan konsep negara hukum dalam arti materiil. Berkembangnya konsep negara hukum dalam arti materiil ini sejalan dengan perkembangan peranan negara yang semakin besar dan luas, yakni menyelenggarakan kesejahteraan umum. Negara harus aktif dan cepat mengatur serta menangani setiap lapangan atau bidang kehidupan warga negaranya, semata-mata untuk tujuan kesejahteraan rakyatnya. Negara hukum dalam konsep ini sering disebut dengan welfare state atau negara kesejahteraan. Sedangkan, Lemaire menyebut fungsi pemeliharaan kesejahteraan umum oleh negara seperti ini dengan istilah "bestuurszorg" (Marbun, 1997 : 12).
Konsep welfare state secara ideologis dinilai paling sesuai dengan tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat, dan secara teknis ditandai dengan eskalasi peran kualitatif dan kuantitatif negara melalui peran regulasi dan distribusi untuk mengarahkan masyarakat menuju ke arah ‘kesejahteraan’(Riawan Tjandra, 2003 : 173).
Berkaitan dengan konsep negara kesejahteraan ini de Haan (1986:8) mengemukakan, bahwa :
“De moderne staat is niet alleen rechtsstaat in de negentiende eeuwse zin, maar ook verzorgingsstaat – of zo men wil – sociale rechtsstaat.”
(Terj. Negara modern bukan saja negara hukum dalam pengertian abad ke 19, tetapi juga negara kesejahteraan (verzorgingsstaat) – atau menurut keinginan kita – negara hukum sosial (sociale rechtsstaat).
Dalam konsep “verzorgingsstaat” (konsep yuridis “sociale rechtsstaat”), oleh P. Schanabel dikatakan, bahwa tugas negara di samping melindungi kebebasan sipil juga melindungi gaya hidup (levenstijl) rakyat. Dengan demikian, “verzorgingsstaat” merupakan perluasan fungsi negara sebagai “nachtwakersstaat”( PhilipusM. Hadjon, 1987:79).
Pada perkembangan akhirnya dapat dikemukakan, bahwa pengaruh negara (terhadap individu) dalam konsep “verzogingsstaat” menjelma ke dalam 3 (tiga) cara, yaitu : pertama, pengaruh langsung sebagai akibat dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak sosial, kedua, pengaruh tidak langsung sebagai akibat dari pembentukan aparat pemerintah yang dilengkapi dengan kekuasaan jabatan dan keahlian, ketiga, harapan bahwa problema-problema masyarakat dapat dipecahkan melalui campur tangan penguasa.
Dalam paham Eropa Kontinental, negara hukum sebagaimana dikemukakan Immanuel Kant dicirikan oleh adanya pembatasan- pembatasan terhadap kekuasaan (kedaulatan) negara melalui upaya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan pemisahan kekuasaan organ-organ negara. Konsep Kant ini kemudian disempurnakan oleh Freiderick J. Stahl yang mengemukakan, bahwa negara hukum formal klasik (rechtsstaat) itu unsur-unsurnya dicirikan sebagai berikut :
- Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
- Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
- Tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum. (Azhari, 1995: 46)
Dalam khazanah pemikiran hukum klasik, konsepsi negara hukum merupakan terjemahan dari rechtsstaat yang berkembang di Eropa Barat Kontinental. Salah satu ciri penting dari konsep negara hukum formal (klasik) ini adalah sifat pemerintahan yang pasif, artinya pemerintah sekedar berperan sebagai wasit atau pelaksana dari berbagai keinginan rakyat yang direpresentasikan oleh anggota parlemen. Negara baru bergerak dalam urusan privat, apabila masyarakat yang bercorak pluralis-liberal tersebut menghendakinya. Sementara itu tugas pokok pemerintah yang paling utama dalam menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi golongan ruling class. Peran negara yang minimal di dalam urusan warga negara ini, dikenal dengan istilah negara penjaga malam (nachtwachterstaat) atau negara pengawas (watchdog).(Mahfud MD, 1993:23)
a
a
Negara penjaga malam hanya mempunyai suatu tugas apabila rakyatnya berada dalam bahaya atau ketertiban umum dan keamanan terancam. Negara sebagai penjaga malam hanya bertindak untuk memukul dengan tongkatnya, apabila ketentraman, ketertiban dan keamanan atau hak-hak asasi perseorangan terancam. Tugas negara hanya memelihara keamanan senjata.
a
a
Konsep negara penjaga malam sebagai konsep negara hukum klasik, secara historis sangat dipengaruhi oleh paham ekonomi liberal yang berlaku pada waktu itu. Prinsip dalam lapangan ekonomi “laissez faire, laissez aller” diterapkan dalam lapangan ketatanegaraan. Oleh karena watak liberal sangat dominan dalam konsep negara hukum klasik ini, maka ada sebagian kalangan yang menyebut negara hukum pada masa itu dengan istilah liberal-democratieshe rechtsstaat.
Ciri-ciri konsep liberal-democratieshe rechtsstaat mencakup :
- a. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
- b. Adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi : kekuasaan pembuatan undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas yang tidak hanya menangani sengketa individu rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah yang mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur);
- c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (vrijheidsrechten van de burger).
Seiring dengan perjalanan waktu, konsep rechtsstaat mengalami perkembangan dari konsep klasik ke konsep modern. Sesuai dengan sifat dasarnya, konsep negara hukum klasik disebut “klassiek liberale en democratische rechtsstaat” yang sering disingkat saja dengan “democratische rechtsstaat”. Konsep modern lazimnya disebut (terutama di Belanda) “sociale democratische rechtsstaat”,(M. Hadjon, 1987:74) atau verzorgingsstaat, yaitu merupakan perluasan dari fungsi negara sebagai nachtwakersstaat.
Ciri-ciri konsep sociale - democratische rechtsstaat atau verzorgingsstaat di antaranya adalah munculnya interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dan dominasi hak-hak sosial, serta konsepsi baru tentang kekuasaan politik dalam hubungannya dengan kekuasaan ekonomi, termasuk konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, karakter baru dari “wet” dan “wetgeving”. Sudargo Gautama mengemukakan, dengan ditinggalkannya konsep negara hukum klasik, maka negara hukum modern ini mempunyai kewajiban yang lebih luas. Negara harus mengutamakan kepentingan seluruh masyarakatnya. Kemakmuran dan keamanan sosial seluruh lapisan masyarakatnya yang harus dikejar, bukan hanya keamanan senjata. Berdasarkan tugas pemerintah seperti itu, maka penguasa dalam konsep negara hukum ini berkewajiban untuk turut serta aktif dalam mengatur pergaulan hidup seluruh lapisan masyarakatnya. Menurut Rukmana Amanwinata, konstruksi negara hukum yang demikian ini disebut negara hukum dalam arti luas atau dalam arti material, yang melahirkan “Welfarestate” atau “Wohlfarsstaat” atau dikenal dengan Negara Kesejahteraan, dan dalam perkembangan selanjutnya menjadi “Cultuurstaat “ atau “Social Service State”.( Rukmana Amanwinata, 1996:96)
Sifat aktif penguasa negara terhadap seluruh bidang kehidupan masyarakatnya (dalam konsep Welfarestate), di satu sisi bertujuan untuk mengejar kemakmuran/kesejahteraan seluruh masyarakatnya, akan tetapi di sisi lain juga mengundang potensi bahaya yang dapat merongrong sifat-sifat negara hukum itu sendiri, terutama apabila tindakan penguasa yang bertambah luas dan besar tersebut dijalankan dengan sewenang-wenang. Oleh karena itu, terhadap setiap tindakan aktif penguasa negara harus dibatasi dengan hukum. Fungsi hukum dalam hal ini tidak saja untuk memberikan pedoman bagaimana penguasa negara seharusnya bertindak, akan tetapi juga sekaligus berfungsi sebagai batu uji atas setiap tindakan penguasa negara.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, pada akhirnya dapat dikemukakan, bahwa :
a. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum, apabila negara itu memenuhi unsur-unsur terpenting sebagai berikut : (Sri Soemantri, 1992:29)
- (1) pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau perundang-undangan;
- (2) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
- (3) adanya pembagian kekuasaan (machtsverdeling) dalam negara;
- (4) adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).
b. Negara hukum baru menjadi suatu kenyataan, bilamana “hukum kenyataan” ternyata didukung oleh keyakinan etis. Keyakinan, bahwa hak negara ada batas-batasnya; bahwa negara pun harus tunduk kepada hukum. Dengan demikian, dalam konsep negara hukum modern, tidak ada lagi alasan, bahwa keputusan penguasa negara (overheidbesluiten), apakah yang bersifat peraturan perundang-undangan maupun beschikking (Keputusan Tata Usaha Negara) tidak dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum.
Sedangkan konsep negara hukum yang ada di Indonesia merupakan terjemahan langsung dari rechsstaat, sebagaimana dapat dilihat dalam Sistem Pemerintahan Negara yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 bahwa “Indonesia, ialah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat). Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka Machsstaat)”.
Unsur-unsur negara hukum dalam UUD 1945 sebagai konstitusi yang berlaku di Indonesia ternyata mendasarkan pada konsept rechsstaat maupun rule of law, ada di dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 dengan perincian sebagai berikut : (Oemar Senoadji, 1966:24)
- Pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, antara lain terdapat dalam Alenia 1 dan 2 Pembukaan dan Pasal 27-34;
- Adanya pembagian kekuasaan dalam negara Indonesia yang terdiri dari 5 lembaga tinggi negara dan 1 lembaga tertinggi negara;
- Pemerintahan berdasar Undang-undang atau wetmatigheid van het bestuur, yang kemudian diperlonggar menjadi rechtmatigheid van het bestuur dan berkembang menjadi doelmatigheid van het bestuur;
- Pengaturan tentang hak dan kewajiban Presiden – Pemerintah yang tercantum dalam pasal-pasal dan penjelasan;
- Ketentuan yang mengatur pengawasan terhadap pemerintah;
- Adanya Peradilan Tata Usaha Negara;
- Pengakuan terhadap supremasi hukum baik sebagaimana tercantum dalam alenia 4 Pembukaan UUD 1945, pasal-pasal mengenai lembaga-lembaga negara, dan Penjelasan tentang Sistem Pemerintahan Negara;
- Persamaan kedudukan di depan hukum yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1);
- Negara hukum Indonesia tidak mendasarkan diri pada paham liberal individualis, akan tetapi mendasarkan diri pada pandangan hidup bangsa, yaitu Pancasila. Perbedaannya terletak pada masalah kedudukan individu dalam masyarakat.
Individu dalam pandangan paham liberal individualis merupakan pusat perhatian yang harus dilindungi dalam suatu negara hukum. Perlindungan hukum bagi rakyat adalah perlindungan terhadap kebebasan idnvidu. Setiap tindak pemerintahan yang melanggar kebebasan individu, melahirkan hak untuk menggugat di muka peradilan. Hal ini sesuai yang dikemukakan John Locke dengan teori perjanjian masyarakat (Contract Social) tentang tujuan dibentuknya suatu negara. Negara dibentuk berdasarkan perjanjian idnvidu dalam masyarakat untuk memenuhi dan melindungi kepentingan mereka. Kekuasaan negara dibatasi seminimal mungkin dan tidak lagi mutlak, sebaliknya kepada setiap individu diberikan kemerdekaan dan kebebasan yang besar (Marbun, 1997:6-7). Paham ini lebih menekankan pada hak individu yang harus dilindungi oleh negara.
Paham Pancasila dapat dilihat dari kelima sila yang ada di dalamnya, yang menurut Philipus M. Hadjon merupakan rangkaian yang tersusun secara sistematis-logis yang isinya adalah ide dasar negara Republik Indonesia. Lebih lanjut Philipus M. Hadjon :
“Sejak semula berdirinya negara, bangsa Indonesia mengakui bahwa kemampuan untuk mendirikan suatu negara merdeka adalah berkat Tuhan (alenia kedua UUD 1945). Dan sejalan dengan itu sila Ketuhanan Yang Maha Esa menempati urutan pertama dalam rangkaian sila-sila Pancasila. Disusul dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab adalah konskuensi logis dari sila pertama karena dengan pengakuan terhadap eksistensi Tuhan berarti mengakui ciptaannya dan ciptaan yang paling mulia adalah manusia karena manusia adalah citra Allah. Dan dengan demikian pula mengakui harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia…Tujuan dari hidup bersama dalam suatu negara merdeka adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama seperti rumusan sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia yang mengalir dari Pancasila secara bersama-sama mengakui eksistensi manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk pribadi. Sebagai makhluk sosial, individu warganegara tidak hanya menuntut hanya terhadap negara tetapi juga menyadari apa kewajibannya terhadap negara yang telah dibangun atas kehendak bersama sebagai dorongan kodrat untuk hidup bermasyarakat.
Paham Pancasila memandang kepentingan masyarakat lebih diutamakan daripada kepentingan individu, karena kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan utama dibentuknya Republik Indonesia dan di dalam kepentingan masyarakat itu sendiri sudah terkandung kepenting an individu. Apabila kepentingan masyarakat sudah terpenuhi maka kepentingan individu di dalamnya juga akan terpenuhi, dengan demikian hak asasi manusia sebagai makhluk sosial sekaligus juga sebagai makhluk pribadi diakui secara bersama.
Negara Republik Indonesia menghendakai keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, yang mengedapan adalah asas kerukunan dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat. Dari asas ini akan berkembang elemen lain dari konsep Negara Hukum Pancasila, yaitu : terjalinnya hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah sedangkan peradilan merupakan sarana terakhir dan tentang hak-hak asasi manusia tidak hanya menekan hak atau kewajiban tetepi terjalinnya suatu keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Negara hukum Indonesia sebagai negara hukum yang moderen memberikan peluang yang cukup besar bagi pihak pemerintah untuk ikut campur dalam kehidupan masyarakatnya yang sebenarnya bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam masyarakat sehingga tercapai kesejahteraan rakyat atau lebih dikenal dengan istilah negara kesejahteraan (welfare state).
Campur tangan pemerintah ini disebut dengan freies Ermessen/discretionaire, (Utrech, 1957: 17-21) yaitu wewenang yang diberikan kepada pemerintah untuk mengambil tindakan guna menyelesaikan suatu masalah penting yang mendesak, yang datang secara tiba-tiba dimana belum ada peraturannya. Jadi kebijaksanaan itu diambil tanpa dilandasi oleh peraturan umum, yang memberikan kewenangan kepada administrasi negara untuk membuat kebijaksanaan tersebut.
Kebijaksanaan itu dalam prakteknya sering dituang dalam berbagai bentuk, seperti surat edaran, pedoman, pengumuman, surat keputusan yang bersifat abstrak dan umum dan bahkan dalam bentuk peraturan yang disebut pseudo-wet geving (perundang-uhndangan semu).
Freies Ermessen tersebut tidaklah bersifat semena-mena karena harus tetap mendasarkan diri hukum yang berlaku, baik hukum yang tertulis mapun yang tidak tertulis. Dengan demikian walaupun pada pihak administrasi negara ada wewenang yang besar untuk membuat kebijaksanaan sendiri akan tetapi harus tetap dapat dipertanggung jawabkan dalam kerangka perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Campur tangan dari pihak pemerintah administrasi negara ini semakin hari semakin meluas sehingga pembagian hukum yang bersifat privat dan publik menjadi semakin bergeser. Semakin banyak hukum privat yang mengatur hubungan antar kepentingan dalam masyarakat diatur oleh “negara” sehingga bergeser ke arah hukum publik, dengan demikian hukum publik menjadi semakin luas dan besar. Hal ini dapat dilihat dalam skema yang digambarkan oleh Crince Le Roy yang menunjukkan semakin berkembangnya Hukum Administrasi Negara, bahkan bukti yang lebih jelas lagi adalah pergeseran beberapa bidang yang awalnya termasuk dalam hukum privat menjadi hukum publikk atau termasuk Hukum Administrasi Negara Khusus, yaitu Hukum Kesehatan dan Hukum Ketenagakerjaan..
Pembagian antara hukum privat dan publik ini sebenarnya sudah lama dikritik oleh beberapa pihak, antara lain Jurgen Haberinas dan Roberto Mangabeira Unger.
Haberinas (Gerald Turkel, 1995: 122) mengatakan :
“..that the separation between state and society weakens as conflicts in family life, contracts, and property relations are no longer settled by private parties, but, rather, become the subject of legal and political action.”
(… bahwa pemisahan antara negara dan masyarakat semakin melemah, sejak sengketa-sengketa yang terjadi dalam kehidupan keluarga, perjanjian- perjanjian, dan masalah kebendaan, tidak lagi diatur oleh pihak swasta akan tetapi lebih merupakan subjek dari tindakan hukum dan politis).
Unger bahkan mengatakan bahwa
“….democratic lawmaking leads to greater government intervention in private relations of business and employment. Because of their underlying and unjustified inequality.
(…pembentukan hukum yang demokratis mengarah pada campur tangan pemerintah yang lebih besar pada hubungan-hubungan privat dalam bidang bisnis dan ketenagakerjaan karena adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan di dalamnya).
Heberinas maupun Unger mengemukakan kenyataan yang berkembang dalam masyarakat bahkan yang terjadi di negara yang menyebut dirinya demokratis sekalipun, karena dalam negara demokratis itu sendiri mengarah pada campur tangan negara yang lebih besar untuk mencapai suatu keadilan yang dicita-citakan. Gerald Turkel sendiri menyatakan bahwa :
“..what the growth of social institutions, there are more and more relations among institutions that require legal regulation. Institutions are increasingly governed by combinations of “state authorized rules and privately sponsored regulations and practices”. Individuals depend increasingly on a social world that iso rganized through the associations of institutions.
As a result of these factors, there are more and more laws that “ neither define the behavior of pubulic officials or private transactions” …as law becomnes involved in social processes that out across distinctions between public rules and private actors”. Unger argues that there is a “dissolution of the rule of law”. Law becomes more substantively rational as it become shaped by social policies and goals; law become characterized by “open ended standards, and general clauses in legislation, administration, and adjudication”.
(…bersamaan dengan tumbuhnya lembaga-lembaga sosial, maka semakin banyak hubungan di antara lembaga-lembaga itu yang memerlukan peraturan hukum. Pertumbuhan lembaga-lembaga itu diatur dengan kombinasi dari “aturan-aturan sah negara dan aturan-aturan dan praktek-praktek swasta”. Pertumbuhan individu tergantung pada suatu masyarakat yang diorganisasikan melalui kumpulan lembaga-lembaga.
Sebagai akibat dari transaksi pegawai pemerintah ataupun swasta”. Karena hukum menjadi terlibat dalam proses sosial yang berada di luar garis pembedaan antara aturan publik dan pelaku privat. Unger menyatakan bahwa ada suatu “penghancuran aturan hukum”. Hukum secara substantif menjadi lebih rasional karena dibentuk oleh kebijakan dan tujuan sosial, hukum diberi watak/karakter oleh “standard yang open ended, dan klausa umum dalam legislasi, administrasi dan adjudikasinya”).
Ketidaksetujuan terhadap pembedaan antara hukum privat dan hukum publik ini memang beralasan, karena dalam kenyataannya saat ini campur tangan pihak pemerintah semakin besar dan luas, bahkan campur tangan itu sendiri semakin dibutuhkan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Hukum administrasi sebagai hukum yang mengatur administrasi negara, berkembang seiring dengan perkembangan campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat. Hukum administrasi materiil maupun formil terletak di antara Hukum Perdata dan Hukum Pidana sebagaimana digambarkan dalam skema F.A.M. Stroink, dan Hukum Administrasi disebut sebagai “hukum antara”, yaitu terletak diantara hukum yang penegakan normanya dilakukan oleh penguasa (hukum Pidana) dan hukum yang penegakan normanya diserahkan pada pihak partikelir (hukum Perdata).
Perlindungan hukum harus diberikan kepada rakyat RI (Republik Indonesia) terhadap hak-hak asasi manusia yang dipunyainya sehingga rakyat dapat hidup secara aman, damai dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan dalam tujuan negara RI. Perlindungan hukum secara umum bagi warga negara Indonesia adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Hak asasi yang secara tegas dan jelas dicantumkan dalam UUD 1945 sebagai dasar hukum negara RI yang berkaitan khususnya dalam bidang ketenagakerjaan adalah hak untuk memperoleh penghidupan yang layak dan berkaitan pula dengan hak untuk berserikat dan berkumpul.
Perlindungan terhadap hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak maupun hak atas kemerdekaan berserikat dan berkumpul tersebut dalam pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 UUD 1945 merupakan suatu hal yang wajar bahkan menjadi suatu kewajiban bagi pemerintah suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Akan tetapi perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat di negara-negara seluruh dunia ini berbeda bentuk maupun sistem yang dianutnya, sebagaimana pula dikenal berbagai macam bentuk demokrasi yang berlaku di negara-negara di dunia ini. Untuk melindungi hak-hak asasi tersebut maka negara hukum Indonesia mendasarkan diri pada paham Pancasila sebagai dasar negara, sehingga menjadikan Indonesia sebagai Negara Hukum Pancasila.
Atas dasar elemen-elemen tersebut, perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah diarahkan kepada :
- a. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa; dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum yang preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan hukum yang represif;
- b. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa (hukum) antara pemerintah dan rakyat dengan cara musyawarah;
- c. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terkahir, peradilan hendaklah merupakan “ultimatum meredium” dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan haruslah mencerminkan suasana damai dan tenteram – terutama melalui hukum acaranya.
Perlindungan hukum bagi rakyat di dalam negara Republik Indonesia (RI) tidak hanya dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat, akan tetapi juga hubungan dalam rakyat/masyarakat itu sendiri yang merupakan hubungan baik antar individu maupun antara individu dan masyarakat secara kolektif.
Asas kerukunan sebagai konsep yang mendasari hubungan antara pemerintah dengan rakyat juga mendasari hubungan yang ada dalam masyarakat itu sendiri, karena asas tersebut dibangun di atas konsep gotong-royong atau kekeluargaan dalam masyarakat. Asas kerukunan merupakan penjabaran dari asas kekeluargaan. Kata “rukun” dapat berarti hubungan yang serasi, yang harmonis, juga dapat berarti tidak konfrontatif, tidak saling bermusuhan.
Hubungan yang serasi atau harmonis tidaklah selalu berarti tidak ada sengketa atau konflik. Dalam suatu hubungan akan selalu ada ketidaksesuaian karena kepentingan yang sama tidaklah berarti pemikiran atau kemauan yang sama pula. Tiap individu dalam masyarakat selalu mempunyai keinginan yang berbeda walaupun kepentingan mereka sama, sehingga dalam kehidupan selalu ada konflik atau sengketa
kembali ke :
• https://bit.ly/46RbI5Z