A. Subjek Hukum
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum, “Manusia” adalah pengertian “biologis” ialah gejala dalam alam, gejala biologika, yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan “orang” adalah pengertian yuridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau person. (Ichsan, 1969:68).
Menurut hukum modern, (Utrecht, 1957:241) seperti hukum yang berlaku sekarang di Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi. Artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu setiap manusia diakui sebagai subjek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada agama, golongan, kelamin, umur, warga negara ataupun orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak bergantung kepada kaya atau pun miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama.
Manusia sebagai “rechtspersoonlijkheid” dimulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia. Pengecualian mulainya subjek hukum dalam BW disebutkan dalam Pasal 2 yang menentukan sebagai berikut :
- Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.
- Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.
Ketentuan yang termuat dalam Pasal 2 BW di atas ini sering disebut “rechtsfictie”. Ketentuan ini sangat penting artinya dalam hal warisan misalnya. Dalam Pasal 638 BW ditentukan bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ini berarti bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia. Akan tetapi dengan adanya Pasal 2 BW, seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap telah dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi keuntungan si anak. Tetapi bilamana anak dalam kandungan itu kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tak pernah telah ada. Artinya andaikan anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan maka ia ketika dalam kandungan dianggap sudah hidup, sehingga dalam kandungan pun ia sudah merupakan orang yakni pendukung hak (Kartohadiprodjo, 1977 :79).
Pentingnya Pasal 2 BW terlihat pada contoh kasusu sebagai berikut. Seorang ayah pada tanggal 1 Agustus 1990 meninggal dunia. Pada saat meninggal dunia ini ia mempunyai dua orang anak, sedangkan istrinya dalam keadaan hamil (mengandung). Pada tanggal 1 September 1990 anak dalam kandungan istri itu lahir hidup dan segar bugar. Kalau Pasal 2 BW itu tidak ada, maka boedel warisan yang ditinggalkan ayahnya hanya dibagi antara saudara-saudaranya dan ibunya saja, yang masing-masing mendapat sepertiga, sedangkan ia yang masih dalam kandungan ketika ayahnya meninggal dunia tidak mendapatkan apa-apa. Keadaan ini dirasakan tidak adil.
Pasal 2 BW tersebut diadakan untuk meniadakan ketidakadilan itu, sehingga anak yang ada dalam kandungan pun merupakan ahli waris. Karena itu bagian dari masing-masing ahli waris pada contoh kasus di atas ini adalah seperempat (tiga anak dan seorang janda). Pembagian ini juga berlaku seandainya anak itu hanya hidup sedetik. Adapun bagiannya menjadi warisan. Jadi anak yang hidup sedetik pun dan kemudian meninggal dunia itu menjadi “pewaris”. Sedangkan yang menjadi ahli warisnya dalah saudara-saudaranya dan ibunya.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak. Pasal 3 BW menyatakan,“tiada suatu hukum pun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata”.
Selanjutnya, meskipun setiap orang tiada terkecuali sebagai pendukung hak dan kewajiban atau subjek hukum (rechtspersoonlijkheid), namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid). Orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan “tidak cakap” untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
- Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 1330 BW jo. Pasal 47 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974); (Subekti, 1977 :111).
- Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan, yaitu orang-orang yang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros (Pasal 1330 BW jo. Pasal 433 BW);
- Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang dinyatakan pailit (Pasal 1330 BW jo. Undang-Undang Kepailitan).
Jadi orang-orang yang cakap melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) adalah orang yang dewasa dan sehat akal pikirannya serta tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Orang yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampunan (curtele) dalam melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampunya (curator). Sedangkan penyelesaian hutang-piutang orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (weeskamer).
Uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap orang adalah subjek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban. Namun tidak setiap orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) tidak selalu berwenang untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegheid).
Dengan demikian rechtsbekwaamheid adalah syarat umum, sedangkan rechtsbevoegheid adalah syarat khusus untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat, ternyata manusia bukan satu-satunya subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban), tetapi masih ada subjek hukum lain yang sering disebut “badan hukum” (rechtspersoon). Sebagaimana halnya subjek hukum manusia, badan hukum ini pun dapat mempunyai hak dan kewajiban-kewajiban, serta dapat pula mengadakan hubungan-hubungan hukum houding (rechtsbetrekking/rechtsver) baik antara badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lain, maupun antara badan hukum dengan orang (natuurlijkpersoon). Karena itu badan hukum dapat mengadakan, perjanjian-perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa dan segala macam perbuatan di lapangan harta kekayaan.
Dengan demikian “badan hukum” ini adalah pendukungnya hak dan kewajiban yang tidak berjiwa, sebagai lawan pendukungnya hak dan kewajiban yang berjiwa yakni manusia. Dan sebagai subjek hukum yang tidak berjiwa, maka badan hukum tidak dapat dan tidak mungkin berkecimpung di lapangan keluarga seperti mengadakan perkawinan, melahirkan anak dan sebagainya.
Adanya badan hukum (rechtspersoon) di samping manusia (natuurlijkpersoon), adalah suatu realitas yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat. Sebab, manusia selain mempunyai kepentingan perseorangan (individu), juga mempunyai kepentingan bersama dan tujuan bersama yang harus diperjuangkan bersama pula. Karena itu mereka berkumpul mempersatukan diri dengan membentuk suatu organisasi dan memilih pengurusnya untuk mewakili mereka. Mereka juga memasukkan harta kekayaan mereka masing-masing menjadi milik bersama, dan menetapkaan peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku dikalangan mereka anggota organisasi itu.
Dalam pergaulan hukum, semua orang-orang yang mempunyai kepentingan bersama yang tergabung dalam kesatuan kerja sama tersebut dianggap perlu sebagai “kesatuan yang baru”, yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota-anggotanya serta dapat bertindak hukum sendiri. (Ali Rido, 1977 :10). Untuk mengetahui hakikat dari pada badan hukum, dalam ilmu pengetahuan hukum timbul bermacam-macam teori tentang badan hukum yang satu sama lain berbeda-beda. Berikut ini hanya dikemukakan 5 (lima) macam teori yang sering dikutip oleh penulis-penulis hukum. (Ali, 1976 : 29-33; Rido, hal.15-17;Utrecht, hal.245-247; Ichsan:71-77).
1. Teori Fictie
Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiktif, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Teori ini dikemukakaan oleh Von Savigny, dan diikuti juga oleh Houwing.
2. Teori harta kekayaan bertujuan (doel vermogenstheorie)
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun, kata teori ini, ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyainya dan terikat pada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum. Teori ini diajarkan oleh A. Briz dan diikuti oleh Van de Heijden.
3. Teori organ dan otto’van gierke
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek. Tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota-anggotanya), seperti manusia noiasa yang mempunyai pancaindera dan sebagainya. Pengikut teori organ ini antara lain Polano.
4. Teori Propriete Collectief
Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraaff. Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama-sama anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstitusi yuridis saja. Star Busmann dan Kranenburg adalah pengikut-pengikut ajaran ini.
5. Teori kenyataan yuridis (juridische Realiteitsleer)
Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, konkret, riil, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukakan oleh Mejers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.
Meskipun teori-teori tentang badan hukum tersebut berbeda-beda dalam memahami hakihat badan hukum, namun teori-teori itu sependapat, bahwa badan-badan hukum dapat berkecimpung dalam pergaulan hukum di masyarakat, dengan beberapa pengecualian.
1. Pembagian Badan Hukum
Menurut Pasal 1653 BW badan hukum dapat dibagi atas 3 (tiga) macama, yaitu :
- a. Badan hukum yang “diadakan” oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II Kotamadya, Bank-bank yang didirikan oleh negara dan sebagainya.
- b. Badan hukum yang “diakui” oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
- c. Badan hukum yang “didirikan” untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, seperti perseroan terbatas, perkumpulan asuransi, perkapalan dan lain sebagainya.
Kalau badan hukum itu dilihat dari segi wujudnya maka dapat dibedakan atas 2 (dua) macam,yaitu :
- a. Korporasi (corporatie) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya. Misalnya : perseroan terbatas, perkumpulan asuransi, perkapalan, koperasi, Indonesische Maatschappij op aandelen (IMA) dan lain sebagainya.
- b. Stichting (yayasan) adalah harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan tertentu. Jadi yayasan tidak ada anggota, yang ada hanyalah pengurusnya, yang melakukan segala kegiatan untuk mencapai tujuannya.
- a. Pada korporasi para anggotanya bersama-sama mempunyai kekayaan dan bermacam-macam kepentingan yang berwujud dalam badan hukum itu; sedangkan pada stichting kepentingannya tidak terletak pada para anggotanya, karena stichting tidak mempunyai anggota.
- b. Dalam korporasi para anggota bersama-sama merupakan organ yang memegang kekuasaan tertinggi; sedangkan dalam stichting yang memegang kekuasaan tertinggi adalah pengurusnya.
- c. Dalam korporasi yang menentukan maksud dan tujuannya adalah para anggotanya; sedangkan dalam stichting yang menentukan maksud dan tujuannya adalah orang-orang yang mendirikan, yang selanjutnya berada di luar badan tersebut.
- d. Pada korporasi titik berat pada kekuasaannya dan kerjanya; sedangkan pada stichting titik berat pada suatu kekayaan yang ditujukan untuk mencapai sesuatu maksud tertentu.( Ali :107-108).
Badan hukum dapat pula dibedakan atas 2 (dua) jenis yakni :
- a. Badan hukum publik.
- b. Badan hukum privat.
Di Indonesia kriterium yang dipakai untuk menentukan sesuatu badan hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada 2 (dua) macam :
- a. Berdasarkan terjadinya, yakni badan hukum privat didirikan oleh perseorangan, sedangkan badan hukum publik didirikan oleh pemerintah/negara.
- b. Berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya itu untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik. Tetapi kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.
Badan hukum publik misalnya :
Negara Republik Indonesia. Daerah Tingkat I. Daerah Tingkat II, Bank-bank Negara, dan sebagainya.
Sedangkan badan hukum privat misalnya :
perseroan terbatas, koperasi, yayasan, perkumpulan perkapalan, asuransi, Indonesische Maatschappij op aandelen dan sebagainya.
2. Pengaturan Badan Hukum
BW tidak mengatur secara lengkap dan sempurna tentang badan hukum. Dalam BW ketentuan tentang badan hukum hanya termuat pada buku III titel IX Pasal 1653 sampai dengan 1665 dengan istilah “van zedelijke lichamen” yang dipandang sebagai perjanjian, karena itu lalu diatur dalam buku III tentang perikatan. Hal ini menimbulkan keberatan para ahli karena badan hukum adalah persoon, maka seharusnya dimasukkan dalam buku I tentang orang (van personen).
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan hukum ini antara lain termuat dalam
- Stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan badan hukum;
- Stb 1927 No. 156 tentang gereja dan organisasi- organisasi agama;
- Stb. 1939 No. 570 jo. 717 tentang badan hukum Indonesia;
- Stb. 1939 No. 569 jo. 717 tentang Indonesische Maatschappij op aandelen; WvK (Wetboek van Koophandel) tentang perseroan terbatas, perseroan, perkapalan dan perkumpulan asuransi; • • •
- Undang-Undang No. 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian yang mengatur tentang badan hukum koperasi, dan lain-lain.
- Sedangkan yayasan tidak diatur dalam undang-undang tetapi diatur dalam kebiasaan dan yurisprudensi.
3. Syarat-syarat Badan Hukum
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan/perkumpulan/badan usaha, agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (rechtspersoon) Menurut doktrin syarat-syaratnya adalah sebagai berikut di bawah ini :
- a. Adanya harta kekayaan yang terpisah Harta kekayaan ini diperoleh dari para anggota maupun perbuatan pemisahan yang dilakukan seseorang/partikelir/pemerintah untuk suatu tujuan tertentu. Adanya harta kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai apa yang menjadi tujuan badan hukum yang bersangkutan. Harta kekayaan ini, meskipun berasal dari pemasukan-pemasukan anggota-anggotanya, namun terpisah dengan harta-kekayaan kepunyaan pribadi anggota-anggotanya itu. Perbuatan pribadi anggota-anggotanya tidak mengikat harta kekayaan tersebut. Sebaliknya perbuatan-perbuatan badan hukum yang diwakili pengurusnya, tidak mengikat harta-kekayaan anggota- anggotanya.
- b. Mempunyai tujuan tertentu Tujuan tertentu ini berupa tujuan yang idiil maupun tujuan komersiil yang merupakan tujuan tersendiri daripada badan hukum. Jadi bukan tujuan untuk kepentingan satu atau beberapa anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan sendiri oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang hendak dicapai itu lazimnya dirumuskan dengan jelas dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
- c. Mempunyai kepentingan sendiri Dalam mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan-kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa hukum. Oleh karena itu badan hukum mempunyai kepentingan sendiri, dan dapat menurut serta mempertahankannya terhadap pihak ketiga dalam pergaulan hukumnya. Kepentingan sendiri dari badan hukum ini harus stabil, artinya tidak terikat pada suatu waktu yang pendek, tetapi untuk jangka waktu yang panjang.
- d. Ada organisasi yang teratur Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Karena itu, sebagai subjek hukum di samping manusia, badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan organnya. Bagaimana tata cara badan hukum yang terdiri dari manusia itu bertindak mewakili badan hukum, bagaimana organ badan hukum itu dipilih, diganti dan sebagainya, diatur dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan lain atau keputusan rapat anggota. Dengan demikian badan hukum mempunyai organisasi.
Pada akhirnya yang menentukan suatu badan/perkumpulan/himpunan sebagai badan hukum atau tidak, adalah hukum positif yakni hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu. Misalnya di Prancis dan Belgia, hukum positifnya mengakui perseroan firma sebagai badan hukum. Sedangkan di Indonesia hukum positifnya tidak mengakuinya sebagai badan hukum. Demikian juga dengan perseroan komanditer (CV), tidak diakui sebagai badan hukum, meskipun dalam masyarakat sering disangka sebagai rechtspersoon.
Syarat mutlak untuk diakui sebagai badan hukum, himpunan/perkumpulan/badan usaha itu harus mendapat “pengesahan” dari Pemerintah cq. Menteri Kehakiman (d/h Gubernur Jenderal Pasal 1 Stb. 1870 No. 64).
4. Perbuatan Badan Hukum
Sebagaimana dikatakan bahwa hukum itu adalah subjek hukum yang tidak berjiwa seperti manusia, karena badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus diwakili oleh orang-orang manusia biasa. Namun orang-orang ini bertindak bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dan atas nama badan hukum. Orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum ini disebut “organ” (alat perlengkapan seperti pengurus, direksi dan sebagainya) dari badan hukum, yang merupakan unsur penting dari organisasi badan hukum itu.
Bagaimana organ dari hukum itu berbuat dan apa saja yang harus diperbuatnya serta apa saja yang tidak boleh diperbuatnya, semua ini lazimnya ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan maupun dalam peraturan-peraturan intern lainnya. Dengan demikian organ badan hukum tersebut tidak dapat berbuat sewenang- wenang tetapi dibatasi oleh peraturan-peraturan intern yang berlaku dalam badan hukum itu, baik yang termuat dalam “anggaran dasar” maupun “peraturan-peraturan lainnya”.
Tindakan organ badan hukum yang melampaui batasa-batas yang telah ditentukan tidak menjadi tanggung jawab badan hukum. Tetapi menjadi tanggung jawab pribadi organ yang bertindak melampaui batas tersebut menguntungkan badan hukum, atau organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui tindakan itu. Dan persetujuan organ yang kedudukannya lebih tinggi harus masih dalam batas-batas kompetensinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang termasuk dalam Pasal 1656 BW yang menyatakan :
“segala perbuatan, untuk mana pengurusnya tidak berkuasa melakukannya, hanyalah mengikat perkumpulan sekadar perkumpulan itu sungguh-sungguh telah mendapat manfaat karenanya atau sekadar perbuatan-perbuatan itu terkemudian telah disetujui secara sah”.
Kemudian Pasal 45 WvK menyatakan :
- (1) Tanggung jawab para pengurus adalah tak lebih daripada untuk menunaikan tugas yang diberikan kepada mereka dengan sebaik-baiknya; merekapun karena segala perikatan dari perseroan, dengan diri sendiri tidak terikat kepada pihak ketiga,
- (2) Sementara itu, apabila mereka melanggar sesuatu ketentuan dalam akta, atau tentang perubahan yang kemudian diadakannyaa mengenai syarat-syarat pendirian, maka, atas kerugian yang karenannya telah diderita oleh pihak ketiga, mereka itu pun masing-masing dengan diri sendiri bertanggung jawab untuk seluruhnya.
Jadi jelas dalam hal organ bertindak di luar wewenangnya, maka badan hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan atas segala akibatnya, tetapi organlah yang bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga yang dirugikan. Dus badan hukum yang semula diwakili organ itu tidak terikat dan tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya oleh pihak ketiga.
Lain hanya kalau organ itu bertindak masih berada dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya, meskipun terjadi kesalahan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum (“onrechtsmatige dead”), badan hukum tetap bertanggung jawab menurut Pasal 1365 BW. Demikian pendapat sebagian besar ahli-ahli hukum seperti Paul Scholten.
red _ (06)
kembali ke :
• https://bit.ly/46xSTVJ