![]() |
PIH |
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, disahkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989, diundangkan di Jakarta pada tanggal Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400.
A. Pengertian Peradilan Agama
1. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ini dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai pelaksanaan pasal 10 ayat (1) dan pasal 12 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, untuk menggantikan tiga buah peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu :
a. Staatsblad Tahun 1982 Nomor 152 jo Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610 tentang Peradilan Agama di Jawa dan
Madura.
b. Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639 tentang Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar untuk sebagian Kalimantan Selatan.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di luar Jawa
dan Madura.
Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 telah menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-undang. Sebagai pelaksana dari ketentuan tersebut, pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 telah menetapkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
a
a
Sementara itu pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 telah menentukan bahwa Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-undang. Ketentuan ini dipertegas
oleh pasal 12 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang menetapkan bahwa susunan, Kekuasaan serta Acara dari Badan-badan Peradilan seperti tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang tersendiri.
a
a
2. Peradilan Agama sebagai lembaga penegak hukum dan pelaksana kekuasaan kehakiman telah tumbuh dan berkembang di Indonesia atas kehendak bangsa Indonesia sendiri sejak berabad-abad yang lalu jauh sebelum pemerintah kolonial menginjakkan kakinya di bumi nusantara ini. Peradilan Agama telah berdiri karena kebutuhan hukum masyarakat dan bangsa Indonesia yang beragama Islam.
a
a
Oleh karena itu maka Stbl. 1882 Nomor 152 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda sebenarnya hanya meresmikan saja lembaga Peradilan Agama yang telah ada sebelumnya dan sekaligus dapat dipahami bahwa peradilan agama sebagai lembaga penegak hukum tidaklah mungkin dibiarkan terus berjalan sendiri tanpa diatur secara resmi oleh pemerintah/penguasa. Dalam perkembangan selanjutnya Pemerintah Belanda kemudian membatasi kewenangannya yaitu dengan mengeluarkan masalah waris dari kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura melalui Stbl. 1937 Nomor 116 dan melengkapinya dengan Peradilan Tingkat Banding yaitu dibentuknya Mahkamah Islam Tinggi dengan Stbl. 1937 Nomor 610.
a
a
Demikianlah pula untuk wilayah Kalimantan Selatan dengan Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639.
a
a
Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan penuh dan bebas dari cengkeraman penjajah, maka berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 untuk memenuhi kebutuhan hukum dari umat Islam di daerah-daerah lainnya ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura.
a
a
3. Keberadaan Peradilan Agama di Indonesia yang telah diperkuat dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bukanlah karena Islam dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia, sebab di dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 tidak dikenal ukuran mayoritas minoritas. Kehadiran Peradilan Agama adalah karena diperlukan oleh kebutuhan umat Islam di Indonesia seperti di Singapura, Philipina, Srilanka, Brunai Darussalam dan Malaysia.
a
a
Oleh karena itu maka kehadiran Peradilan Agama di Indonesia hendaklah diterima dengan lapang dada oleh golongan penganut agama lainnya dan kehadirannya semata-mata kehendak sejarah dan tidak akan menganggu kepentingan penganut agama lainnya. Disinilah hakikat dari kehidupan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai golongan penganut agama yang berbeda yang telah terpatrikan dalam lambang negara kita Bhineka Tunggal Ika.
4. Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, telah kita ketahui bersama bahwa selama ini Peradilan Agama diatur dalam 3 buah peraturan perundang-undangan yang berbeda, dua buah diantaranya produk pemerintah Kolonial, yaitu Stbl. 1882 Nomor 152 jo. Stbl. 1973 Nomor 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura dan Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk sebagian Kalimantan Selatan, sedang untuk daerah lainnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951.
a
a
Sebagai akibat dari ketiga peraturan yang berbeda tersebut maka Peradilan Agama di Indonesia selama ini tidak seragam baik namanya, wewenangnya maupun susunannya. Selain itu berdasarkan peraturan perundang-undangan warisan pemerintah Kolonial tersebut Peradilan Agama adalah peradilan semu karena dia tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri.
a
a
Kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah dengan Mahkamah Agung dalam masa 8 tahun terakhir ini adalah bersaha memacu Peradilan Agama agar sederajat kedudukannya dengan lingkungan peradilan lainnya sesuai dengan kehendak Undang-undang Nomor 14 tahun 1970. Berbagai usaha telah dilakukan antara lain melalui kegiatan rapat kerja, penataran, lokakarya dan pembinaan teknis hukum lainnya yang semuanya dilandasi sementara ini dengan SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1983.
a
a
Selain itu langkah terobosan lain yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung adalah memperlakukan acara kasasi perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum terhadap perkara-perkara yang berasal dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1977 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 1978.
a
a
SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama serta Peraturan Mahkamah Agung tersebut di atas adalah kebijaksanaan sementara yang bersifat darurat dan rancangan Undang-undang inilah yang diharapkan dapat segera mengakhiri keadaan yang bersifat sementara tersebut.
a
a
5. Usaha menyiapkan rancangan Undang-undang tentang Peradilan Agama, ini sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1971, berdasarkan ketentuan pasal 1 Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah. Menteri Agama pada saat itu telah menyampaikan pokok-pokok materi dan urgensi dari rancangan Undang-undang tentang Peradilan Agama kepada Bapak Presiden dan sebagai jawaban atas surat Menteri Agama tersebut, Menteri Kehakiman telah memberikan pertimbangan bahwa proses penyampaian rancangan Undang-undang tentang Peradilan Agama sebaiknya menunggu selesainya persiapan rancangan Undang-undang tentang Peradilan Umum dan rancangan Undang-undang tentang Mahkamah Agung.
a
a
Untuk mempersiapkan rancangan Undang-undang tentang Peradilan Agama ini telah dapat dimulai kembali pada tahun 1982 setelah adanya kesepakatan antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Agama dan Menteri Kehakiman yang direalisir dengan diangkatnya Team Interdeparmental yang anggota-anggotanya terdiri dari unsur-
unsur :
a. Mahkamah Agung.
b. Departemen Kehakiman.
c. Departemen Agama.
d. Perguruan Tinggi Umum (Universitas Indonesia).
e. Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
a
a
Upaya mempersiapkan rancangan Undang-undang tentang Peradilan Agama kemudian diperkuat dengan izin prakarsa dari Presiden sebagaimana tertuang dalam surat Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia tanggal 13 September 1983 Nomor B-2736/M Sesneg/9/1983 dan Surat Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia tanggal 29 Pebruari 1984 Nomor R.11/M Sesneg/2/1984 dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 1 Instruksi Presiden nomor 15 Tahun 1970.
a
a
6. Sebagaimana telah dimaklumi, bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Undang-undang tentang Mahkamah Agung dan Undang-undang tentang Peradilan Umum telah disahkan dan diundangkan menjadi undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Undang-undang Tata Usaha Negara telah disahkan dan diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1986.
a
a
7. Semula pemerintah merencanakan persiapan pengajuan dua rancangan undang-undang, yaitu rancangan undang-undang tentang susunan dan Kekuasaan Peradilan Agama dan rancangan undang-undang tentang Acara Peradilan Agama. Namun oleh karena undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga sekaligus mengatur tentang acaranya, dan di samping itu hukum acara perdata pada Peradilan Umum yang sesuai dengan kehendak Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 masih dalam penyusunan, maka untuk kesederhanaan perundang-undangan, kedua rancangan undang-undang tentang Acara Peradilan Agama kemudian digabung menjadi satu.
a
a
Mengingat bahwa hukum acara Peradilan Agama pada prinsipnya sama dengan hukum acara perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, ditambah dengan hukum acara yang khusus bagi Peradilan Agama yang karena sifat dan hukum materiilnya tidak sama dengan hukum acara Peradilan Umum, maka terdapat penegasan dalam pasal 54 rancangan Undang-undang ini (kemudian menjadi pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989) yang menyatakan bahwa hukum acara perdata pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum berlaku bagi pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, kecuali yang secara khusus diatur dalam Undang-undang ini.
a
a
8. Dalam masa akhir Repelita IV pemerintah ingin menuntaskan pelaksanaan GBHN sebagaimana telah dijabarkan dalam Repelita IV Bab 27 tentang Hukum, yaitu menyempurnakan Peradilan Agama melalui usaha dapat disetujui dan disahkannya rancangan Undang-undang yang sekarang telah berada di tangan para anggota Dewan yang terhormat. Lebih dari pada itu maka usaha penyempurnaan Peradilan Agama ini adalah untuk memperkuat kerangka landasan kekuasaan kehakiman, untuk siap tinggal landas pada Repelita VI sebagaimana kita cita-citakan bersama.
a
a
9. Beberapa materi dalam Undang-undang ini yang dianggap penting sebagai berikut :
a. Kedaulatan Peradilan Agama Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri, terpisah dari Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, sesuai dengan ketentuan pasal 10 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970. Karena itu maka dalam rancangan undang-undang tentang Peradilan Agama ini ketentuan yang mengatur ketergantungan Peradilan Agama pada Peradilan Umum, yang selama ini ditentukan dalam Stbl. 1882 Nomor 152 jo Stbl. 1937 Nomor 116 dan 610 Stbl. 1937 Nomor 638 dan 639 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957, dihilangkan. Demikian pula ketentuan yang tercantum dalam pasal 63 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur pengukuhan keputusan Peradilan Agama oleh Peradilan umum secara tegas dinyatakan tidak berlaku oleh pasal 107 Undang-undang ini.
a
a
Peradilan Agama sebagaimana halnya Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Agung sebagai Pengadilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi yang melakukan pengawasan atas perbuatan Peradilan Agama di bidang teknis hanyalah Mahkamah Agung. Pengadilan Agama sejajar dan sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya, tidak saling tergantung dan tidak saling mengawasi satu sama lain. Oleh karena itu maka dalam rancangan Undang-undang ini diatur tentang Juru Sita pada Peradilan Agama sehingga nantinya Pengadilan Agama dapat melaksanakan sendiri keputusannya secara penuh.
a
a
Dalam rancangan Undang-undang ini ditentukan tugas juru sita antara lain :
(a) Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;
(b) Menyampaikan pengumuman, teguran dan lain-lain;
(c) Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan dan membuat berita acara.
a
a
b. Wewenang Peradilan Agama.
Wewenang Peradilan Agama adalah memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
(a) Perkawinan (yaitu masalah NTCR serta segala akibatnya sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tntang perkawinan);
(b) Kewarisan, wasiat dan habah yang dilakukan berdasakan hukum Islam;
(c) Wakaf dan Shadaqah.
a
a
Pada masa sekarang ini terdapat perbedaan kewenangan mengadili antara Pengadilan Agama di Jawa dan Kalimantaran Selatan dengan Pengadilan Agama di Luar Jawa dan Kalimantan Selatan kewenangannya ditingkatkan dan disamakan dengan Pengadilan Agama di daerah-daerah lainnya meliputi ketiga hal tersebut di atas.
a
a
Pelaksanaan kewenangan tentang kewarisan di wilayah Peratuan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang karena pengaruh theorie receptie yang tercantum dalam pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 sering menimbulkan perbedaan penafsiran antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum, oleh Keputusan Rapat Kerja Teknis Gabungan antara Mahkamah Agung dengan Ketua Pengadilan Tinggi dari semua lingkungan peradilan di Yogyakarta pada tanggal 21 sampai dengan 23 Maret 1985 telah dapat diakhiri.
a
a
Keputusan Rapat Kerja tersebut telah menetapkan bahwa perkara waris dari mereka yang beragama Islam di wilayah Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 adalah menjadi kewenangan Peradilan Agama.
a
a
c. Susunan dan Tempat Kedudukan Pengadilan
Susunan Peradilan Agama dalam rancangan Undang-undang ini diatur sama dengan Peradilan Umum. Lembaga Juru Sita yang selama ini tidak dimiliki oleh Peradilan Agama, dalam rangka meningkatkan kemandirian Peradilan Agama sesuai dengan kehendak Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, dalam rancangan undang-undang ini diatur. Dengan adanya jabatan juru sita ini diharapkan Peradilan Agama di masa yang akan datang akan menjadi peradilan yang penuh dan dapat melaksanakan keputusannya sendiri tanpa memerlukan fiat eksekusi dari Peradilan Umum.
a
a
Demikian juga jabatan Wakil Ketua sebagai unsur pimpinan, yang dalam ketiga peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama selama ini tidak diatur, dalam undang-undang ini melalui pasal 10 ayat (1) dan (2) ditegaskan kedudukannya.
a
a
Tempat kedudukan Pengadilan Agama menurut pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini adalah di kotamadya atau di ibu kota kabupaten yang wilayah hukumnya meliputi kotamadya atau kabupaten yang bersangkutan. Namun tidak dikesampingkan kemungkinan adanya lebih dari satu Pengadilan Agama dalam satu kabupaten yang daerahnya sangat luas sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan pasal 4 ayat (1) tersebut. Sebagai contoh adalah beberapa kabupaten di Sumatera, Kalimantan dan Maluku. Demikian pula di Jawa seperti kabupaten Gresik yang mempunyai dua Pengadilan Agama yaitu Pengadilan Agama Gresik dan Pengadilan Agama Bawean.
a
a
Sementara itu dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang ini ditentukan bahwa Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota provinsi. Sekarang ini telah berdiri 18 Pengadilan Tinggi Agama, yaitu: Banda Aceh, Medan, Padang, Pekanbaru, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Ujung Pandang, Manado, Ambon, Mataram dan Jayapura.
a
a
Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta sekarang ini sedang diproses persetujuan pembentukan oleh Menpan sedang Pengadilan tinggi Agama Bandar Lampung dan Jambi telah disetujui oleh Pihak Mahkamah Agung dan sudah dipersiapkan usul persetujuan
pembentukannya ke pihak Menpan.
a
a
Pengadilan Tinggi Agama yang lainnya dibentuk dengan Undang-undang sesuai dengan ketentuan pasal 8 Undang-undang
ini.
a
a
d. Kedudukan Hakim
Dalam Undang-undang ini dipertegas bahwa hakim dalam lingkungan Peradilan Agama adalah pegawai negeri. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang menyatakan bahwa hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama adalah pegawai negeri dan bahwa hanya Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung
adalah pejabat negara.
a
a
Dalam kedudukan sebagai pegawai negeri seorang hakim adalah abdi negara dan abdi masyarakat, sedangkan dalam kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan ia adalah abdi hukum dan pemutus keadilan sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
a
a
pasal 27 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menegaskan bahwa hakim sebagai fungsinya sebagai hakim, maka pengangkatan dan pemberhentian hakim dalam lingkungan Peradilan Agama dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 15 ayat (1) Undang-undang ini. Namun demikian ketentuan ini hendaklah dimaksudkan untuk menjadikan hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pejabat negara dan ketentuan ini lebih bertujuan untuk menjaga martabat dan wibawa hakim itu sendiri.
a
a
e. Hukum Acara
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa melalui pasal 54 Undang-undang ini menyatakan berlakunya acara perdata pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang diatur secara khusus dalam rancangan undang-undang ini.
Pemerintah berpendapat bahwa hukum acara yang berlaku pada Peradilan Agama selama ini pada prinsipnya tidak berbeda dengan acara perdata yang berlaku pada Peradilan Agama. Bahkan mulai tahun 1962 oleh pemerintah telah diperintahkan kepada para hakim di Pengadilan Agama untuk mempedomani HIR dan RBg mengenai hal-hal yang belum diatur dalam peraturan- peraturan perundang-undangan tentang Peradilan Agama maupun dalam kitab-kitab Fiqh yang menjadi pedoman Peradilan Agama.
Adapun hal-hal yang perlu diatur secara khusus dalam rancangan undang-undang ini adalah masalah yang tidak dikenal atau berbeda pengaturannya dengan acara yang berlaku pada Peradilan Umum, yaitu :
(a). Pemeriksaan sengketa perkawinan yang mengatur tentang cerai talak dan cerai gugat.
Proses perceraian dengan talak diatur secara khusus dalam rancangan undang-undang ini, selain karena lembaga perceraian tersebut tidak dikenal di Peradilan Umum, juga dimaksudkan untuk lebih menyempurnakan acara perceraian dengan talak yang diatur dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 yang dirasakan belum memberikan kesempatan kepada pihak istri yang akan dicerai untuk membela haknya melalui forum Pengadilan Agama.
Demikian pula halnya pengaturan wewenang relatif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 baik dalam hal cerai talak maupun cerai gugat kurang mencerminkan adanya perlindungan terhadap pihak istri sebagai kaum lemah. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menentukan bahwa suami yang akan menjatuhkan talak terhadap istrinya permohonanya diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal pemohon/suami (pasal 14), sementara gugatan perceraian oleh istri diajukan ke Pengadilan Agama yang melayani tempat tinggal tergugat/suami (pasal 20).
Dalam Undang-undang ini ketentuan tersebut di balik, yaitu permohonan membuka sidang penyaksian ikrar talak oleh suami diajukan ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal termohon/istri, sedang gugatan perceraian diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tingggal penggugat/istri, sedang gugatan perceraian diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal penggugat/istri, kecuali apabila si istri telah meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami baik dalam hal cerai talak maupun cerai gugat (pasal 66 ayat (2) dan pasal 73 ayat (1) Undang-undang.
Selain itu untuk menjamin terlaksananya ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, maka wewenang untuk memberikan bukti perceraian dalam rancangan Undang-undang ini diberikan kepada Pengadilan Agama, tidak lagi kepada KUA Kecamatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
(b). Li’an
Salah satu perceraian yang diatur dalam pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1985 adalah salah satu pihak suami/istri berbuat zina. Dalam praktek di Pengadilan Agama perceraian dengan alasan ini tidak pernah terjadi karena belum diatur acaranya, sementara dalam hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an sendiri sudah diatur yaitu dalam bentuk li’an yang mengakibatkan terjadinya perceraian yang tidak memungkinkan mereka menikah kembali.
Selain itu li’an juga berfungsi untuk menyangkal sahnya status anak yang dikandung oleh istri oleh suaminya.
(c). Biaya Perkara Untuk ketertiban dan keseragaman penentuan besarnya biaya perkara pada Peradilan Agama, rancangan Undang-undang ini memberikan kewenangan pengaturannya kepada Menteri Agama. Sementara itu sebagai pedoman dasar bagi Peradilan Agama, ketentuan tentang prinsip-prinsip beracara yang diatur dalam Undang-undang nomor 14 Tahun 1970 juga dicantumkan dalam rancangan Undang-undang ini.
(d). Administrasi Peradilan Agama
Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya beban pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh pengadilan, maka dalam rangka efisiensi dan tertib administrasi pada Peradilan Agama diadakan pemisahan antara administrasi perkara dan administrasi umum.
Hal ini sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi baik di bidang perkara maupun administrai umum (kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor dan lain-lain), tapi juga akan mempengaruhi kelancaran tugas penyelenggaraan peradilan itu sendiri. Administrasi perkara ditangani oleh Panitera beserta jajarannya yakni Wakil Panitera, Panitera Muda dan/atau Panitera Pengganti.
Sedang administrasi umum ditangani oleh Sekretaris beserta jajarannya yaitu Wakil Sekretaris dan Stafnya. Walaupun tugas-tugas tersebut dibedakan menurut jenis dan dipisahkan penanganannya, namun dalam rangka koordinasi dan efisiensi, pertanggungan jawab tetap dibebankan pada seorang pejabat yaitu Panitera yang merangkap sebagai sekretaris.
10. Dengan disahkannya Undang-undang tentang Peradilan Agama ini maka berakhirlah keanekaragaman Peradilan Agama sebagai akibat dari politik hukum Pemerintah Kolonial dahulu, dan akan tercapai cita-cita realisasi dan berhasilnya pasal 24 dan 25 Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan Bab Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Dan dengan itu sekaligus tercapailah pula gagasan wawasan nusantara di bidang hukum, khususnya bidang peradilan (kekuasaan kehakiman).
Upaya penegakan hukum dan mewujudkan keadilan merupakan masalah yang sangat utama dalam rangka terwujudnya cita-cita kemerdekaan yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
kembali ke :
• https://bit.ly/3tzJWfL